Diambil dari theholders.org
Ini adalah bagian kedelapan
dari serial ‘Ieunitas, Infectus, Talius’
.
“Venaliter.”
.
“Tunggu, jika kau
membunuhku, akan datang konsekwensi yang sangat berb—“
Permohonan The
Holder of the Harvest terputus saat Pedang Raja Hitam meluncur melalui
tenggorokannya. Dia berdeguk, menatap ke bawah saat darahnya mengalir di pedang
itu.
Aku berhenti sejenak sebelum mecabut pedang itu dengan tajam ke samping, memenggal kepala sang Holder sepenuhnya. Saat tubuh itu merosot ke tanah, aku meraih Sabit yang tergenggam di tangannya. Tangannya kaku, posesif terhadap Objek bahkan dalam kematian. Aku memotongnya dengan Pedang Raja Hitam. Mengambil Sabit tersebut, aku menyarungkan pedangku dan keluar dari institusi itu.
.
“Jangan bergerak! Angkat
tangan! Jangan bergerak atau kami akan terpaksa menggunakan kekerasan!”
Suara manusia itu terdengar
keras, jelas diperkuat. Jaketnya bertuliskan FBI. Aku dikelilingi oleh mungkin
lima puluh pria berjaket serupa, semuanya mengacungkan berbagai senjata api otomatis
dan semi-otomatis ke arahku.
Seorang pria berdiri
beberapa meter di depan yang lain, dan aku dapat melihat bahwa dialah yang
menyuruhku untuk mengangkat tanganku ke udara. Aku bisa merasakan kegelisahan
dalam dirinya dan semua agen yang ada. Sebagian besar wujudku ditutupi oleh
jubah, dan wajahku tertunduk, sehingga mustahil bagi mereka untuk melihat bahwa
aku bukanlah manusia. Namun, seperti hewan yang pemalu, mereka masih bisa
merasakan bahayanya.
Aku berdiri di luar rumah
sakit jiwa yang tinggi di sebuah kota bernama Los Angeles, dan para agen FBI
meneriakkan ancaman yang tidak akan pernah bisa mereka atasi sementara beberapa
helikopter melayang di atas mereka.
Aku tahu secara naluriah
bahwa helikopter itu juga mempunyai senjata yang diarahkan kepadaku.
“Aku akan menghitung sampai
tiga!” Suara pria itu terdengar, “Angkat tangan!”
Suara yang diperkuat, menggunakan
pengeras susara itu, semakin melelahkan. Aku mulai berjalan menuju pria itu.
“Berhenti di situ!” Dia
berteriak dengan gugup. Aku menarik tudung kepalaku, memperlihatkan wajahku
padanya. Wajah pria itu menjadi pucat sebelum dia jatuh ke tanah, mengejang dan
mulutnya terbata-bata. Aku meraih tenggorokannya dengan tangan kananku dan
mengangkatnya ke udara. Lelaki itu meronta—tanganku tak lagi berkulit, sudah
lama menjadi tulang, kitin, atau menjadi seperti semacam keramik—Tanganku
menggengam semakin erat, semakin erat, semakin erat, semakin erat, dan leher
pria itu patah dengan bunyi yang keras.
Suara itu sepertinya
membangunkan anggota pasukan lainnya dari kebingungan mereka.
“Tembak!” seseorang
berteriak. Hampir seketika, berbagai senjata api ditembakkan dengan sangat
cepat, dan proyektil-proyektil kecil melesat ke arahku. Waktu di sekitarku
melambat. Aku dapat melihat dan mendengar proyektil beterbangan, membelah udara
untuk mencapaiku. Aku memejamkan mata dan merasakan aku dipukul mundur oleh
beban serangannya.
Aku menarik tanganku, lalu
merentangkannya. Gelombang energi dilepaskan dariku. Agen terdekat dariku menguap
seluruhnya, sementara peluru yang terbang ke arahku terperangkap dalam
gelombang, dan terbang kembali ke penembaknya. Kaca di gedung di belakangku,
serta satu helikopter yang melayang, pecah berkeping-keping. Pecahannya jatuh ke
tanah seperti hujan salju yang mematikan, kehebatannya hilang bagi semua orang
yang berdiri di bawah kecuali diriku sendiri. Di salah satu pecahan kaca, aku
melihat sekilas wajahku sendiri.
Tidak ada kulit, hanya
tengkorak yang ditutupi dan diberi daging oleh semacam bahan keramik putih,
dengan garis dan tanda hitam di bagian depan. Gigiku telah menajam menjadi
taring. Dua tanduk, seperti tanduk banteng, menjulur ke depan, dimulai dari
tempat pelipisku berada dan mengarah ke depanku. Keramik itu memanjang dari dan
ke belakang tengkorakku, di bawahnya rambut hitam pekatku (yang jelas-jelas
belum aku pangkas) jatuh ke punggung. Aku bisa melihat mataku sendiri di
pecahan itu, melihat kehampaan yang mengerikan di dalamnya. Aku hampir bisa
melihat tuanku. Pemikiran itu membuat aku gembira karena begitu dekat dengan
Edo Edi Essum.
Pecahan besi jatuh ke tanah
dan pecah menjadi potongan-potongan yang lebih kecil. Aku mendongak, untuk
melihat sebuah proyektil besar meluncur dari salah satu helikopter yang belum
jatuh, dengan jejak asap di belakangnya.
Aku melenturkan sayapku,
merobek sebagian besar bagian belakang jubahku, sebelum merentangkannya dengan
tajam.
Kecepatan saat aku terlempar
ke atas menimbulkan desahan dari agen lain saat aku mengulurkan tanganku,
menangkap misil di udara. Aku memutar lenganku dan merentangkannya lagi saat
aku melepaskan misilnya, dan aku merasakan keterkejutan di wajah pilot saat
misil itu terbang ke arahnya. Sebuah ledakan spektakuler terjadi saat pecahan
peluru dan besi menghujani agen di bawahku.
Aku mendarat di
tengah-tengah mereka saat helikopter lain melepaskan tembakan, proyektilnya
memecahkan serpihan kecil keramik saat memantul ke arahku. Aku meraih wajah
agen terdekat dan melemparkannya ke atas, ke dalam pesawat. Aku mendengar kaca
pecah saat tubuh itu mendarat di depan pilot. Helikopter itu berputar ke bawah,
ledakannya menghancurkan beberapa agen yang tersisa.
Saat cahaya mulai meredup,
aku menarik tudung kepalaku hingga tandukku hampir tidak terlihat dan wajahku
kembali tertutup. Sayapku terlipat ke belakang saat aku mulai berjalan cepat menjauh
dari lokasi pembantaia—
Dor Dor!
Aku berbalik dan melihat
seorang agen yang sendirian, menembakiku dengan senjata genggam kecil. Dor—tang!.
Tembakannya memantul dari bahuku, hingga serpihan kecil tulang keramik
beterbangan keluar. Aku berbalik ke arahnya.
“LeaEveD toHIEs pDlaEce as SonUcMe EDO”
Pria itu, yang sebelumnya
gemetaran, kini terdiam. Setelah merenung sejenak, dia memasukkan senjata api
ke mulutnya, lalu menarik pelatuknya.
.
Aku melangkah ke dalam Void,
dan disambut oleh Edo Edi Essum. Aku membungkuk, memperlihatkan di hadapanku
Objek yang kuperoleh dari perjalananku. Aku bisa merasakan energi familiar dan
sangat besar yang menimpaku. Kebisingan dan keteguhan suaranya yang mengerikan,
menyerang pikiran dan tubuhku; Aku melihat, mendengar, dan merasakan ucapan dan
kata-kata yang menggangguku, membatasiku.
“Bagus
sekali. Dan bagaimana dengan Holdernya?”
“DEEAD, DmOy MaEsDter, aIs yEoSu coSmmaUndeMd EDI.”
“Karja
Bagus. Sekarang, Ini hadiahmu.”
“ThEaDnOk yEoDu, mIy MaEsStSeUrM ESSUM”
.
Aku merasakan penderitaan
yang tidak asing lagi ketika Edo Edi Essum memberikan lebih banyak kekuatannya
kepadaku. Aku bisa merasakan rasa sakit yang semakin bertambah, semakin menumpuk,
semakin besar di dalam diriku. Aku merasa seolah-olah rasa sakit dan energi
yang diberikannya, mencabik-cabik aku dari dalam. Mulutku terbuka dalam jeritan
tanpa suara.
Ini adalah kepekatan.
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih
0 Response to "Ieunitas, Infectus, Talius #8 : Venaliter"
Post a Comment