Diambil
dari theholders.org
Ini adalah bagian kedua
dari serial ‘Ieunitas, Infectus, Talius’
.
“Pessum
Ire”
.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku menjadi diriku yang sekarang. Entah sudah berapa lama aku menjadi Infectos Essun, The Corrupter. Aku mulai lupa dari mana aku berasal, atau siapa aku. Tapi semakin aku memikirkan masa laluku, semakin tidak penting bagiku itu semua. Aku mulai menyadari bahwa hanya ada ‘sekarang’. Masa kini yang didorong oleh masa lalu, sebagaimana masa depan didorong oleh masa kini. Dan aku tahu apa yang menjadi bahan bakar masa laluku.
Pembalasan dendam.
Aku terbang melalui Void, mengikuti anomali yang aku rasakan
di dunia manusia. Semakin lama aku merasakan kehampaan yang dingin, hitam, dan
kosong, itu semakin menenangkan. Mungkin isolasi ini membantuku sembuh dengan
cara yang tidak biasa, mungkin membuatku utuh kembali. Mungkin kegelapan itulah
yang menyenangkanku. Namun, pikiran-pikiran ini bersifat sementara dalam
kesadaranku. Aku menyadari bahwa aku telah tiba di tujuanku.
Aku dimuntahkan ke dalam
hutan yang menghijau, dengan pohon-pohon besar menjulang dari tanah di semua
sisiku. Aku tidak peduli dengan keagungan pohon-pohon besar yang menjulang
tinggi ini. Di hadapanku, mereka menjadi sakit dan busuk, hancur seolah-olah
mereka terkena penyakit sampar yang tak pernah terpuaskan. Daun-daun menjadi
hitam dan berguguran, dan akhirnya pohon-pohon pun tumbang, tidak mampu lagi
menopang dirinya sendiri. Begitulah caraku memasuki desa: dengan jejak pepohonan
hitam yang terinfeksi di belakangku.
Penduduk desa entah
bagaimana mengetahui keberadaanku, karena kentongan mulai berbunyi begitu aku
keluar dari hutan. Desa itu sendiri tampaknya benar-benar siap untuk berperang.
Anak panah terbang ke arahku saat penduduk desa menyerang dengan tongkat kayu
dan tombak. Tentu saja, tidak satu pun dari senjata ini yang memiliki efek apa
pun. Persenjataan kayu akan cepat rusak jika berada di dekatku. Para pengguna
senjata segera mengikutinya. Beberapa dari mereka mulai memuntahkan semua zat
yang ada di tubuhnya. Yang lainnya membusuk sehingga berubah menjadi debu dalam
hitungan detik. Dampaknya berbeda-beda pada setiap orang, namun tak lama
kemudian, seluruh anggota milisi di desa tersebut menderita berbagai penyakit
dan pembusukan. Aku berjalan melewati mayat mereka dan memasuki desa.
Berjalan melewati barisan
mayat, aku disambut oleh pemandangan aneh: Yang tersisa dari penduduk desa
hanyalah seorang pria, dengan putranya yang masih kecil, mungkin berumur
sebelas atau dua belas tahun, meringkuk di belakangnya. Ketika aku mempelajari
senjata yang dipegang pria itu, aku menyadari bahwa dia pastilah anomali yang aku
rasakan. Dia membawa pedang. Pedang asli, terbuat dari logam. Jenis apa, aku
tidak tahu. Namun aku tahu, dibutuhkan orang yang sangat unik untuk mendapatkan
senjata semacam itu di tempat terpencil seperti ini. Bukan berarti hal itu
memberinya keuntungan lebih dibandingkan denganku. Persenjataan manusia yang
menyedihkan tidak akan meninggalkan goresan padaku. Pria itu mengangkat
pedangnya—
—Dan membuat sayatan
diagonal di bagian tengah tubuhku. Aku terkejut kembali, takjub karena manusia
ini mampu melukaiku. Darahku yang tercemar mengucur dari luka itu, dan aku
menyadari kesalahanku. Itu bukanlah pedang biasa. Itu pasti Pedang
Petir, Object 270—atau setidaknya, ‘salah satunya’
Object itu membenciku, dan
aku hanya tahu bahwa ‘Object-Object ini’, punya kekuatan untuk melukaiku
seperti yang dilakukan pria ini. Marah karena kelalaianku sendiri, aku
mengalihkan pandanganku ke mata pria itu. Saat melihat milikku, dia mulai
gemetar dan mengejang dengan hebat. Aku dengan tenang berjalan ke arahnya dan
melingkarkan salah satu tanganku di lehernya. Mengangkatnya ke udara, aku
meremasnya semakin erat. Tenggorokan pria tersebut menghitam dan penyakit mulai
menyebar ke seluruh tubuhnya dengan cepat. Dia binasa dalam beberapa saat, dan
aku langsung membuang mayatnya ke samping. Lukaku mulai sembuh perlahan saat
aku kini mentap anak laki-laki yang tersisa. Aku kaget saat menyadari bahwa aku
masih bisa merasakan gangguan yang kualami sebelumnya. Jelas bagiku bahwa pria
itu (maupun obyeknya), bukanlah
sumbernya.
Itu berasal dari bocah ini.
Saat aku berjalan ke
arahnya, aku menyadari bahwa dia tidak terpengaruh oleh kekuatanku yang
merusak. Dia menatapku, gemetar ketakutan. Tapi ketakutannya hanya terjadi karena
dia melihat penampilanku, tidak karena yang lain. Tatapanku tidak menghancurkan
pikirannya, tidak membuatnya gila.
Pada saat itu, aku tahu apa
yang harus aku lakukan. Aku mengulurkan tangan pada anak laki-laki itu, mengatur
impresi terbaikku sebagai sosok kebapakan. Air mata mengalir di wajah anak itu
saat aku berbicara.
"Ikutlah
denganku," kataku. Anak itu tersentak mendengar suaraku, menggigil semakin
hebat. Namun setelah beberapa saat, anak itu meraih tanganku. Saat menyentuhku,
kulit anak laki-laki itu mulai mengeras, dan tangannya mulai menajam menjadi
cakar. Anak laki-laki itu menatapku dengan ngeri, tetapi ekspresi ketakutannya
segera digantikan oleh ekspresi penerimaan dan pengertian.
"Nama barumu adalah Pessum Ire.." kataku dengan nada
memerintah, "..dan bersama-sama kita akan mengatur realita ini sesuai
keinginan kita."
Anak itu hanya mengangguk
pelan.
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih
0 Response to "Ieunitas, Infectus, Talius #2 : Pessum Ire"
Post a Comment