Diambil dari theholders.org
Ini adalah bagian Final dari serial ‘Ieunitas, Infectus, Talius’
.
“Consilium”
.
Pedang Raja Hitam tajam ke bawah, dan kemudian turun dengan kecepatan yang sangat tinggi, tapi aku masih merasa seolah-olah aku terjebak dalam gerakan lambat. Api gelap menelusuri bilahnya saat bergerak, seolah membelah udara saat meluncur ke leher Balance. Antisipasi dan kemenangan menumpuk dalam diriku saat ujung pedang hampir mencapai lehernya—
—sebelum kemudian, pedang
itu berhenti.
‘Apa?’
Tangan Balance melingkari
pedangnya. Namun bukan itu yang menghentikannya. Salah satu, tanganku, tidak
bisa kugerakkan. Itu bergerak dengan kemauan sendiri.
Apa yang sedang terjadi?
Aku terpental, ketika
Balance menggunakan kesempatan itu untuk lolos dari cengkramanku.
Suara [Balas Dendam-]
terbentuk, berkembang menjadi hiruk-pikuk [Kekalahan-] yang melengking dan
menyakitkan di pikiranku. Balance mencoba untuk berdiri, dan kemudian memungut
Pedang Raja Hitam yang aku jatuhkan.
Aku memegangi kepalaku
[Apa-] Suara itu mulai [End-] menenggelamkan pikiran [Praetorious-] milikku,
dan aku merasakannya [Kehancuran] menyusulku dengan ganas, menenggelamkan [Kau
melakukan ini-] aku. Penglihatanku [Angela-] menjadi kabur- [ Keluar dari kepalaku, Essum! ]
.
.
Penglihatan terfokus tajam
lagi. Praetorious melihat Balance memegang Pedang Raja Hitam, terlihat agak
tercengang. Praetorious bisa merasakan Essum di dalam dirinya, menggeliat dalam
kemarahan dan kebingungan [Bagaimana-].
Praetorious melihat
tangannya, jari-jarinya berakhir menjadi jari-jari yang jahat. Jadi aku telah
menjadi seperti ini. Mereka membuatku merasa jijik. Melihat ke bawah, Praetorious
dapat melihat bahwa tubuhnya ditutupi oleh material yang mengerikan. Tiba-tiba,
dia menyadarinya, kejahatan dingin menggerogotinya, memakannya.
Tanpa sepenuhnya menyadari
apa yang dialakukan, Praetorious mencakar wajah keramiknya dengan jari-jarinya.
Praetorious bisa merasakan lukanya tanpa merasakan sakit saat, dia mencoba
untuk merobeknya.
Pecahan keramik jatuh ke
tanah saat tangannya mencari celah dan ceruk lainnya, menggali dan merobek tubuh
menjijikan ini. Tiba-tiba, Praetorious menyadari bahwa tenggorokannya terasa
panas karena jeritan yang dia tidak tahu keluar dari mulutnya. Praetorious
masih merobek wajah itu, dan kemudian mulai membenturkan jari-jarinya yang bercakar
ke bahu dan leher, mencoba mengikis bahan tersebut. Praetorious menunduk, dan
apa yang dia lihat membuatnya merasa ngeri karena jijik.
Sebuah lubang di dada Praetorious,
dengan bola api hitam kecil yang menyala secara aneh di tengahnya. Praetorious
menyentuhnya dengan hati-hati, dan dia langsung dihantam oleh rasa sakit, rasa
sakit yang nyata.
Rasa sakit itu menjalar ke
tangan Praetorious, membakar otaknya begitu dalam hingga dia menangis. Namun,
pada saat itu juga, Praetorious menyadari apa yang harus dia lakukan.
Praetorious memasukkan
tangan kirinya ke dadanya sendiri, terengah-engah karena kesakitan yang
tiba-tiba. Tangannya melingkari api itu, dan api itu membakarnya, hingga rasa sakitnya
melebihi apapun yang pernah dia bayangkan. Praetorious melihat keramik di
tangannya diatomisasi, diikuti oleh kulitnya. Dagingnya terkelupas perlahan
saat Praetorious mencoba menghilangkan api terkutuk itu.
Matanya kehilangan fokus,
dan Praetorious merasa seperti melemah. Sekarat. Rasanya seperti dia telah
merobek hatinya sendiri. Praetorious sadar pita suaranya, atau apa pun yang
menggantikannya, membara dan perih, tangis kesakitannya semakin keras.
Tiba-tiba, ada sesuatu yang
hilang, dan nyala api keluar dari dadanya. Suara menderu dan melengking terjadi
saat ia mengembang, menyatu di udara. Anggota tubuhnya tiba-tiba terasa lemas,
seolah-olah tulang-tulangnya lenyap bersama nyala api. Namun, jika melihat
tangan kirinya, Praetorious dapat melihat bahwa yang terjadi justru sebaliknya.
Hanya tulang yang tersisa dan separuh lengan kiri saja. Praetorious merosot, berguling
kesakitan ke punggung.
Melalui mata setengah
terbuka, Praetorious bisa melihat Balance berjalan ke arahnya, senjatanya
mengarah ke tenggorokannya.
“Siapa kau?” dia bertanya
pada Praetorious, pedangnya menekan leher Praetorious.
“Aku... bukan... sesuatu
yang harus kau khawatirkan saat ini...” Ujar Praetorius.
Balance kemudian berbalik,
melihat apa yang Praetorious lihat. Api hitam telah terbentuk menjadi suatu bentuk,
hitam pekat dan memancarkan kebencian. Praetorious menonton reformasi Essum,
kali ini dia tidak memiliki jubah untuk menutupi penampilannya.
Essum tidak memiliki kaki,
batang tubuhnya tampak terbuat dari asap hitam pekat yang melayang di udara.
Lengan kerangka terbentuk, lebih panjang dari yang seharusnya, dari rongga
bahu, tangan tertekuk dengan aneh.
Praetorious melihat
wajahnya. Atau lebih tepatnya, wajah mereka. Ia berubah terus-menerus, berputar
dan memutarbalikkan secara menjijikkan menjadi berbagai fitur, sebagian
manusiawi dan sebagian bukan. Secara naluriah Praetorious tahu bahwa itu adalah
wajah semua makhluk yang dia konsumsi. Semua makhluk yang telah Praetorious
konsumsi.
Praetorious sempat melihat
wajah Angela, hitam dan berasap, di atas leher Essum. Kemudian, Praetorious
juga melihat wajahnya sendiri... dan tak sadarkan diri setelahnya.
.
.
Note
:
Konklusi Pertarungan The Balance dan Essum, bisa dilihat dalam babak akhir The
Balance Saga
.
.
[Aftermath]
Praetorius terbangun dengan
jelas dan menyadari bahwa dia terbanting ke dinding. Dia membuka mata saat The
Balance membantingnya lagi ke tiang batu.
“Siapa kau?” Balance bertanya
pada Praetorius.
Awalnya Praetorius terbatuk
dan tergagap, bingung.
“Namaku... Praetorious...” Praetorius berhasil mengucapkannya, kata-kata itu mulai keluar dengan lebih mudah setelahnya. “.. Essum memakanku karena aku adalah Reinkarnasi dari Pemilik sah Pedang Raja Hitam.” Jelas Praetorius.
“Kau..?”
Balance mengangkat senjatanya,
mengarahkannya ke dada Praetorius.
“Kau boleh membunuhku jika
kau mau. Aku sudah lelah.” Praetorius melanjutkan. Dia sudah tidak peduli.
Balance mempertimbangkannya
sejenak sebelum menurunkan senjatanya. Dia nampaknya tidak tertarik dengan
tawaran itu.
“Apa yang terjadi dengan
Essum?” Praetorius bertanya padanya.
“Essum sudah pergi,” Balance
berkata sambil melirik sekilas ke dua bagian Pedang Raja Hitam (yang telah
hancur). “Aku membuangnya ke masa lalu, untuk bergulat dengan pendahuluku
selamanya. Dia tidak akan pernah muncul lagi.”
“Senang mendengarnya,” kata Praetorius
sambil berhasil berdiri tegak, sedikit bergoyang.
Kemudian, Praetorius melihat
pedang Raja Hitam, dan bayangan wajahnya terpantul pada pedang itu. Praetorius
bisa melihat wajahnya sendiri. Warnanya pucat, tidak wajar, dan matanya berubah.
Irisnya berwarna emas cerah. Wajahnya kembali seperti manusia, namun itu jauh
berbeda dari wajahnya yang sebenarnya.
Kemudian Praetorius menoleh
ke tangan kirinya. Tangan ini, adalah satu-satunya yang tidak kembali
menumbuhkan kulit. Praetorius melihat dagingnya sudah hilang, hanya tulangnya
yang tersisa di tangan itu—fakta bahwa itu masih menyatu dan masih bisa
digerakkan, benar-benar tidak masuk akal.
Balance menatapnya, menanyakan apa yang sepertinya menggangu
pikirannya.
“Apakah kau jahat?” tanya
Balance.
Praetorius mencoba berpikir
sejenak, tapi akhirnya menyerah.
“Aku tidak tahu.”
“Kalau begitu, Apakah kau
baik?” Balance melanjutkan.
Praetorius berhenti sejenak untuk
mempertimbangkan pertanyaan itu, mencoba memfokuskan pikirannya. Dia kemudian
menunjuk kepada Pedang Raja Hitam.
“Aku tidak ingat pernah
memiliki benda itu, dan aku tidak mengerti apa sejarahku terhadapnya. Meskipun
begitu, aku tau, Pedang itu akan pulih kembali ketika aku menyentuhnya. Aku
akan mengabaikan panggilan pedang itu untuk saat ini.”
Balance mengangguk, jawaban
itu sudah memuaskannya.
“Lakukan saja apa yang
selama ini kau lakukan, Balance. Aku punya jawaban sendiri untuk ditemukan. Aku
yakin kau akan memiliki banyak hal untuk diseimbangkan di tahun-tahun
mendatang. Namun ketahuilah ini: suatu hari nanti, dunia akan runtuh. Alam
semesta akan terbakar, dan keberadaan akan terurai. Dan bahkan kau pun tidak
akan bisa menghentikannya.” Ujar Praetorius. Dia tidak tau alasan dia
mengatakan itu, namun dia tau bahwa itu adalah kebenaran.
Kemudian, Praetorius berjalan
ke tepi Menara, menatap ke bawah ke jurang yang sangat besar. Makhluk aneh
Essum telah tiada, meninggalkan tumpukan abu tertinggal di tempatnya semula.
Praetorius berbalik ke arah
Balance.
“Hargai dia.” ujar Praetorius
pada Balance, sambil menunjuk pada mantan kekasih Balance yang tak sadarkan diri, “Kita
tidak tahu kapan akhir akan datang, tapi itu jelas akan terjadi.”
Praetorius merentangkan
tangan, dan tumitnya sudah berada di garis tepi menara.
“Tunggu!” Balance berteriak
kepada Praetorius,
Praetorius menoleh.
“Hanya begitu? Kau ingin mengakhiri hidupmu begitu saja?" Tanya Balance yang mengetahui Praetorius ingin melompat.
Praetorius menoleh.
"Apakah menurutmu, kematian adalah akhir?" Tanya Praetorius. Balance menjawab tidak. Yah, dia tau dunia setelah kematian lebih baik dari siapapun.
"Kalau begitu, apakah kita akan bertemu lagi? " Tanya Balance.
“Ya, ini mungkin terakhir kali kita bertemu, tapi mungkin juga tidak. Masa depan adalah sesuatu yang tidak dapat diprediksi oleh siapa pun. "
Balance tidak lagi mencegah. Membiarkan lelaki itu melakukan apa yang dia inginkan.
Praetorius menutup mata, dan
merelakan semuanya. Merasakan tarikan gravitasi, yang awalnya perlahan, lalu
semakin kuat.
Praetorius merasakan angin
menerpa wajahnya saat dia terjatuh, dan dia nampak santai. Dia hampir bisa mendengar
suara Angela di pikirannya, membisikkan hal-hal yang tidak bisa dia pahami. Dia
juga hampir bisa melihat wajahnya.
Praetorius jatuh, dan yang dia tahu selanjutnya, hanyalah kedamaian.
.
Baca Cerita dari The Holders Lainnya
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih
0 Response to "Ieunitas, Infectus, Talius #18 : Consilium [End]"
Post a Comment