Dahulu kala, disebuah kota
yang tengah berperang.
Apa yang dulunya merupakan permata yang cemerlang dan berkilauan di malam hari, telah menjadi medan perang yang mengerikan. Bangunan-bangunan seputih mutiara terbentang bermil-mil, dikelilingi oleh tembok putih besar yang telah runtuh.
Di tepi kota yang dulunya
megah, bangunan kecil dari jerami dan kayu dibakar, apinya membara secara
perkasa malam itu. Mendekati bagian tengah, bangunan indah yang menyerupai
rumah dan pasar terbengkalai, kini menjadi puing-puing yang tidak dapat lagi membuktikan
kejayaan mereka.
Terakhir, di lingkar dalam
kota, gedung-gedung tinggi menyerupai biara dan sekolah, perpustakaan dan
gedung parlemen, masih berdiri megah dan kokoh. Deretan ketapel dan instalasi
militer bertengger di gedung-gedung ini, sebagai pertahanan yang tujuan
utamanya adalah untuk menekan “wabah hitam” yang bergerak maju mendekati
struktur di pusat kota ini.
Struktur yang dimaksud
adalah mutiara kota, menara putih gading yang menjulang tinggi di malam hari,
menembus tabir kegelapan yang menyelimuti kota besar itu sepenuhnya. Menara
lonceng raksasa yang bertengger di puncaknya berbunyi nyaring dan mantap,
bergema melalui jalan-jalan berlubang di malam yang dingin, seakan meminta
bantuan yang tidak akan pernah tiba.
Warga kota ini kalang kabut
di jalanan, melarikan diri dari tentara berpakaian hitam. Deretan prajurit berzirah
hitam yang kejam, terlihat tanpa henti melukai dan menghancurkan semua yang
menghalangi jalan mereka. Kemarahan mereka, bagaimanapun, didorong oleh
kebencian mereka terhadap penduduk Kota
Putih. Jalan-jalan memerah dengan darah warga tak berdosa, diperkuat oleh
kobaran api yang menari dimana-mana.
Seorang pria “Tanpa Nama”,
nampak berlari mendekati menara di struktur pusat kota. Sekali lagi, bangunan
itu adalah mutiara kota. Pusat pemerintahan serta istana bagi orang nomor satu
di Kota Putih.
Sayang, sekarang tempat itu
hanyalah keajaiban kota yang jatuh, karena beberapa pasukan berzirah hitam
terlihat sudah mulai mendekat dari berbagai arah. Para “biksu” yang mengenakan
baju zirah putih, berdiri berjaga di sekitar pintu masuk istana, mencoba mencegat
serangan yang datang.
Mendarat dengan ringan di
benteng istana, sang pria tanpa nama nampak didekati oleh para biksu berzirah
putih dengan sangat cepat. Mereka segera memeluk sang pria, dan tak lama
kemudian pria itu mendapati dirinya diberikan baju zirah putih. Dia adalah
sekutu para biksu, dan dalam kondisi krisis, para biksu ini ayalnya akan
menerima semua bantuan yang bisa mereka dapatkan.
Dilihat dari pakaian, serta
posisi mereka bertahan, para biksu yang menyambut sang pria tanpa nama ini tampaknya
adalah tentara elit kota. Hal ini dikuatkan dengan baju zirah putih bersinar
yang mereka kenakan, terlihat dihiasi dengan lambang rahasia, melebihi segala
aspek baju zirah kurus yang dikenakan pasukan lain.
Bunyi pedang beradu semakin
keras dan mereka tau bahwa peperangan akan semakin mendekat ke tempat itu. Saat
pertempuran di luar terlihat mendekati tangga istana, para biksu zirah putih
elit mulai menghunuskan senjata mereka. Pria tanpa nama itu tahu bahwa pertempuran
ini mungkin yang terakhir, namun, dia akan ikut membela Kota Putih sampai akhir
hayatnya.
Ketika barikade terakhir
istana jatuh dan dikalahkan pasukan hitam, gerombolan bantuan mereka langsung menyerbu
dari belakang.
Para penjaga elit mulai
menyerang, melemparkan diri ke arah musuh, berlari melewati mereka tanpa henti.
Pedang gading mereka berubah menjadi merah karena darah musuh. Mereka jelas
masih mampu mengalahkan gelombang tentara hitam yang datang, yang mencoba maju
ke arah Menara di tengah area.
Tetapi gelombang tentara
musuh tidak berhenti, dan segera para biksu kulit putih mulai lelah, perlahan
jatuh ke pedang hitam musuh yang jahat. Teman demi teman mulai jatuh ke dalam kematian
yang dibawa oleh musuh. Akhirnya, semua penjaga kulit putih telah disingkirkan,
dan pria tanpa nama, terlepas dari usahanya untuk ikut membantu, harus dipukul
mundur oleh kekuatan lawan. Dia lelah, terluka, dan tahu bahwa dia akan segera
menyusul kawan-kawannya.
Dalam upaya terakhir untuk
mencapai keselamatan, dia melarikan diri ke pintu masuk menara.
Menembus gerbang, lelaki
yang berkeringat dan lelah itu melihat satu-satunya sosok berdiri di tengah
Aula Besar. Biksu serba putih yang menunggunya, tampaknya adalah tentara sekutu
paling elit. Dia memakai pelindung dada berwarna putih keemasan, serta pelindung
kaki, sepatu bot, sarung tangan, dan helm emas yang megah.
Pria tanpa nama itu tahu
saat dia mendekati sang biksu; bahwa dia baik hati, namun terbebani. Biksu itu
adalah seseorang yang telah mengenal pertempuran hampir sepanjang hidupnya.
Yang paling menarik dari biksu itu, adalah sarung pedang indah yang bertumpu
pada pinggul kirinya.
Ketika mereka bertemu, sang ‘biksu
kepala’ memberi anggukan kepada pria tanpa nama, mengisyaratkan dia untuk berlindung
di belakangnya. Pasukan hitam akhirnya mulai mengerumuni aula besar,
mendambakan pembunuhan terakhir. Saat pria tanpa nama menatap putus asa pada gelombang
musuh yang datang. Dia tahu bahwa kesatria yang kesepian di depannya ini tidak
akan memiliki kesempatan.
Dia salah. Salah besar .
Saat bilah pedang hitam
pertama mengayun ke arah sang biksu, dia bereaksi. Dengan refleks yang tidak
manusiawi, biksu putih itu menghunus pedangnya dan memenggal prajurit di
depannya dan sepuluh pasukan di belakangnya sebelum pedang lain bisa
menyentuhnya.
Prajurit hitam yang tersisa
mengikutinya, jatuh ke tebasan pedang gading yang cepat sebelum mereka bisa
berkedip karena terkejut.
Saat mayat prajurit terakhir
menumpuk di atas rekan-rekannya, pria tanpa nama tahu bahwa “Sang Raja Putih yang
Perkasa”, memang sekuat julukannya. Sosok yang belum pernah dikalahkan oleh musuh
manapun ini, adalah orang yang memiliki kekuatan untuk menyelamatkan kita
semua.
Sayangnya, kejayaannya tidak
bertahan lama, karena genderang perang yang menakutkan mulai terdengar. Bersamaan
dengan itu, Sosok hitam yang nampak mengintimidas terlihat memasuki tempat ini
dari pintu masuk. Noda merah ada di sosok itu dari ujung helm sampai zirah
dikakinya, seakan, sosok itu sengaja mengguyur seluruh tubuhnya dengan darah
sebelum naik kesini.
Sosok itu melangkahi mayat
tanpa mempedulikan apakah itu kawan atau lawan. Disini, Raja Putih dan Sosok Hitam
bertatapan satu sama lain. Kebencian tampaknya meluap di batas pikiran mereka,
bahkan mempengaruhi sang pria tanpa nama yang hanya bisa menonton.
Pendatang baru berzirah
hitam ini tampaknya setara dengan Raja Putih dalam setiap aspek, kecuali rasa
kejahatan murni yang mengalir dari baju zirahnya yang gelap. Apabila intuisi
sang pria tanpa nama benar, sosok ini adalah pemimpin pasukan musuh, “Sang Raja
Hitam yang Kejam,”
Mereka berdua kemudian
saling mengacungkan pedang, memancarkan keinginan untuk saling membunuh. Saat
itulah, kemudian sang pria tanpa nama menyadari: ini adalah pertarungan Raja Putih dan Raja Hitam.
Pertempuran mereka
berlangsung sepanjang malam, menggelegar ke seluruh penjuru kota. Percikan api
membumbung ke puncak Aula Besar, api dimulai dengan setiap benturan pedang.
Mencocokkan setiap gerakan satu sama lain, sepertinya pertempuran itu akan
berlangsung selamanya. Tetapi dengan kekuatan yang luar biasa, Raja Hitam
melucuti senjata Raja Putih pada akhirnya. Pedang putihnya yang bersinar, terpental
lepas dari tangannya dan terjepit di dinding.
Raja Putih berlutut dan Raja
Hitam pun memberikan pukulan terakhir, membenamkan pedangnya ke dada lawannya,
mengirimkan gelombang kejut besar ke segala arah.
Pemimpin Kota Putih itu
terlempar ke dinding, karena menerima kerusakan dengan seluruh baju zirahnya.
Bersamaan dengan itu, pedang hitam tertancap di tubuhnya, menghapus harapan
terakhir untuk sang Raja Putih bangkit kembali.
Mereka telah kalah.
Saat Raja Hitam melihat
keluar dari Aula Besar, dia melepaskan tawa jahat yang akan menghancurkan hati
nurani pria normal mana pun. Terlalu lemah untuk berdiri, pria tanpa nama menyaksikan Raja Hitam mencuri tahta Raja Putih, memadamkan harapan dari
penduduk kota untuk selama-lamanya.
Darah menghiasi lantai
marmer putih murni. Kegelapan sempurna kemudian menguasai kota, dan hanya
menyisakan keputusasaan di hati orang-orang baik yang tersisa.
Saat itulah sang pria tanpa
nama mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya yang memudar dan berlari ke mayat Raja
Putih. Mencabut Pedang Hitam dari dada Raja Putih, dia memfokuskan pandangannya
pada Raja Hitam.
Melihat pedangnya diangkat,
Raja Hitam pun kaget.
.
.
~lanjutan
dari cerita ini tidak diketahui~
.
.
~~
.
Pedang Raja Hitam pernah menjadi
Object nomor ?, tapi sejak itu hilang, benda itu terlupakan selamanya dalam
mitos. Diusir karena kekuatannya yang jahat, konon katanya ia hanya akan
menjawab panggilan dari sosok yang disebut the Dark One.
Baik Holder maupun Obyek,
selalu berdoa agar pedang jahanam itu tidak pernah ditemukan lagi.
Baca Cerita dari The Holders Lainnya
Catatan admin ; Soo cerita ini secara tidak langsung paralel dengan cerita The Holder Of Peace. Meskipun jika dilihat kembali, ada semacam perbedaan.
Cerita diatas, menurut sudut pandang universe The Holders, adalah peristiwa "Historis", sementara cerita The Holder Of Peace, adalah Cerita "Altered" yang dapat (dan sepertinya) dimanipulasi oleh sang Holder (karena kekuatan dari domain mereka). Ini untuk meluruskan semisal ada yang bertanya kenapa ada "sedikit perbedaan" atas cerita diatas dan cerita The Holder Of Peace.
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih
Akhirnya dibahas juga pedang raja hitam
ReplyDeleteiya,, tapi ceritanya belum selesai, nanti pedang ini bakal kembali disinggung di items of power, dan kayaknya bakal ada di cerita The Balance Saga (atau ieunitas, infectus, talius, admin lupa yang mana)
Deleteapakah "dark one" juga ada kisahnya min?
DeleteHm.. Kalau yg itu admin belum tau
Delete