From
theholders.org
“The
Legion’s Objects”
Translated
By Admin
Ah, pengunjung lain!
Senang berkenalan denganmu. Kau orang ketiga yang datang menemuiku hari ini. Aku harap kau lebih baik dari dua sebelummu, karena mereka.. well.. terlalu takut untuk melanjutkan.
Sebagai seorang “Seeker”,
aku mengharapkanmu sebagai orang yang seharusnya lebih bijaksana melebihi usiamu,
atau mungkin bodoh melebihi pemahaman. Kalian harus tau bahwa kalian sebenarnya
adalah “Mantan”
Oh
tolonglah, jangan bertanya dulu. Izinkan aku menjelaskan ini-itu terlebih dahulu kepadamu. Jika kau
dimaksudkan untuk mengetahui rahasia yang lebih gelap dari alam semesta ini, aku
yakin jawaban akan datang sendiri kepadamu tanpa kau harus repot-repot mencari.
Sekarang, tersenyumlah,
jangan memasang wajah muram. Kau telah melakukan banyak upaya untuk sampai ke
sini, meskipun sebagian besar omong kosong seperti “ritual” sebenarnya itu
tidak diperlukan. Kau seharusnya jangan mudah mempercayai semua yang kau baca, bukankah begitu?
Namun yang berlalu biarlah
berlalu. Sebagai pengakuan atas kegigihanmu, meskipun kau mungkin sampai disini
hanya bermodal keberuntungan, aku akan tetap menceritakan kisahku kepadamu. Aku
akan memberimu sebagian kecil pengetahuan, dan kau mungkin akan tercerahkan
pada akhirnya. Jangan meminta lebih dari apa yang bisa kau terima, karena
kuyakin itu tidak akan sepadan dengan konsekwensinya.
Aku pertama kali mengetahui The Holders, melalui pensil. Yah, benar.
Aku ingat ketika aku menjelajahi
perpustakaan favoritku di pusat kota tempatku tinggal. Itu adalah bangunan yang
indah, tinggi dan luas, sebagian besar terbuat dari batu. Ada patung Gargoyle yang
melihat ke bawah dari atap miring tempat itu, dan dua patung malaikat menjaga
pintu masuk—tangan mereka terangkat sebagai tangan pemberkatan.
Di dalamnya, adalah bangunan
bak istana, sebuah “tempat suci” yang menjadi pusat berkumpulnya pengetahuan
dari ras kita. Rak demi rak dan baris demi baris buku, terbentang seperti kota
kecil yang bertemu di tembok jauh, yang tampak seperti bermil-mil jauhnya. Aku
menyukai tempat itu, dan aku selalu punya alasan untuk menghabiskan waktu
berjam-jam di antara tulisan-tulisan orang-orang hebat, kuno, dan terkadang
mengerikan.
Perpustakaan itu setinggi
lima lantai, setiap tingkat menyimpan beberapa bagian tentang banyak topik.
Sangat jarang ketika aku datang mencari subjek tertentu, dan tidak dapat menemukan
apa pun. Bagian favoritku adalah kisah-kisah yang mungkin juga menarik bagimu,
kisah-kisah tentang hal-hal yang tersembunyi, gaib, dan gelap.
Aku menikmati akumulasi tentang
pengetahuan terlarang tanpa terkecuali, bahkan buku-buku yang jelas-jelas fiksi,
aku tetap melahapnya dengan senang hati. Aku bahkan membaca Necronomicon (Book of the dead, buku tentang makhluk halus) sekali atau dua kali,
meskipun aku lebih berhati-hati dengan yang itu daripada yang lain, karena aku
selalu merasa berdosa ketika membacanya.
Aku adalah seorang “kolektor
teori”, kau tahu, karena aku mengetahui banyak hal namun tidak berniat
menggunakan pengetahuan ini untuk penggunaan praktis. Bagiku, mengetahui
hal-hal ini saja sudah cukup, dan sampai hari ini aku bertanya-tanya apa sebenarnya
yang menarik dari benda-benda yang disebut “Obyek”
Suatu hari, dalam salah satu
kunjunganku untuk menemukan buku yang mengandung “pengetahuan tabu”, aku
menemukan diriku berada di sudut lantai lima, kira-kira sejauh mungkin dari
pintu masuk. Lantai kelima adalah tempat berkumpulnya buku-buku tebal dan tua
dapat ditemukan. Buku-buku seperti ini disimpan di bagian yang jarang
dikunjungi, karena memang kurang diminati.
Ketika itu aku sedang
melihat-lihat rak yang pengap dan remang-remang, kakiku menemukan celah yang
tak terlihat di lantai. Celah itu membuatku tersandung dan aku reflek meraih
rak di sebelahku untuk menyeimbangkan diri. Tentu saja, buku bukanlah pegangan
yang baik ketika kau hendak jatuh, dan keputusan itu pada akhirnya membuat
buku-buku itu berjatuhan menimpaku.
Dengan susah payah aku
bangkit dari lantai, dan mulai meletakkan buku-buku itu kembali ke rak. Ketika aku
mengambil buku terakhir yang jatuh, aku melihat sesuatu yang menarik perhatian.
Buku itu lebih kecil dari sebagian besar volume berat yang umum di bagian
perpustakaan ini, kira-kira seukuran novel bersampul rata-rata. Sampulnya
sendiri sepertinya terbuat dari kulit berkualitas rendah, dan hampir seluruhnya
tanpa dekorasi. Tidak ada judul, tidak ada gambar timbul, tidak ada apapun
untuk mengidentifikasi apa yang ada di dalam buku yang aku pegang. Keingintahuanku
dengan cepat menguasaiku, dan aku membuka halaman pertama.
Halaman-halaman di dalamnya
dipenuhi dengan teks tulisan tangan, dalam bahasa yang belum pernah aku lihat
sebelumnya. Halaman-halaman itu sendiri tidak memiliki garis apa pun untuk
memandu penulis, namun setiap kalimat hampir selaras dengan sempurna, berbaris
di sepanjang halaman, sejajar dengan sisa tulisan. Tampaknya itu semacam
jurnal. Penasaran, aku membolak-balik sisa buku itu. Sekitar tiga perempat
jalan melewatinya, sebatang pensil jatuh dari tempatnya terjepit di antara
halaman, memantul di lantai dan berhenti di dekat kakiku. Halaman-halaman
setelah tempat pensil itu kosong, dan sepertinya penulis misterius itu berhenti
di tengah kata. Membungkuk untuk mengambil pensil, aku menemukan fakta bahwa
pensil itu memancarkan misteri yang lebih dalam daripada sang buku.
Itu bukan jenis alat tulis
yang biasanya akan kau lihat, menghiasi meja setiap siswa di negara ini. Itu
tampak hampir seperti ranting dari pohon, permukaannya ditutupi dengan apa yang
tampak seperti kulit kayu, dan sedikit bengkok di beberapa tempat. Titik ujung
timahnya adalah satu-satunya hal yang mengidentifikasinya sebagai alat untuk
menulis.
Terlebih lagi, ketika aku
membaliknya di tanganku, aku perhatikan bahwa ada tulisan terukir disana,
dengan alfabet yang sama dengan tulisan di buku. Aku melihat lebih dekat, dan
ketika aku memutar pensil lagi, aku melihat sesuatu yang membuatku menjatuhkan
benda itu dengan kaget. Tulisan yang terukir di pensil itu bergerak,
berputar-putar di seluruh badan pensil seperti cacing. Aku menatapnya selama
beberapa detik saat pensil itu tergeletak di lantai, mencoba memutuskan apakah
yang baru saja kulihat itu nyata atau apakah aku sudah terlalu lama berada di
perpustakaan ini. Setelah beberapa saat, aku membungkuk dan dengan hati-hati
mengambil benda itu lagi, dengan sedikit jijik seolah-olah aku sedang memegang menangani
sejenis serangga beracun.
Aku menatap tulisan itu
dengan saksama, tetapi kali ini tetap terukir kuat di kulit kayu dan tidak lagi
bergerak. Ini lebih dari cukup untuk meyakinkanku untuk mempelajari penemuanku
lebih dekat, dan karena jurnal tersebut tidak memiliki nama pengenal, aku pikir
tidak apa-apa untuk meminjamnya tanpa meminta izin kepada pustakawan.
Akupun kemudian meninggalkan
perpustakaan dengan cepat, dengan buku dan pensil tersembunyi di jaketku.
Aku sampai di rumah pada
sore hari, dan segera setelah sampai, aku langsung pergi ke meja terdekat. Aku
tinggal sendirian, jadi aku bisa lebih cuek kepada hal-hal lain yang ada di
dalam rumah.
Aku membuka jurnal, dan
mulai mencari melalui perpustakaan pribadiku, untuk apa pun yang cocok dengan
teks di dalamnya. Aku adalah pecinta sastra dan aku memiliki koleksi bacaan
yang cukup lengkap, selengkap perpustakaan kecil yang bisa kau temui di kota
kecil manapun.
Berjam-jam berlalu saat aku menelusuri
catatan dari bahasa-bahasa apapun yang tersedia dan bisa aku akses. Aku bahkan mencari
sampai ke dialek Babel kuno, untuk sekedar menemukan kecocokan.
Mungkin karena
keberuntungan, aku mendapati kesamaan tulisan dalam sebuah buku tebal berbahasa
Sanskerta. Itu adalah buku yang aku terima dari seorang teman, beberapa tahun
lalu.
Aku tidak tahu apa yang
begitu istimewa dari kata khusus ini, yang tertulis disana, bisa diartikan
hanya sebagai “perhatikan” atau “lihatlah” tergantung pada konteksnya. Tetapi
saat aku membacanya, perasaan akan sesuatu yang mendalam dan mengerikan
menyelimutiku.
Tubuhku mulai bergetar, dan aku
ingat memiliki perasaan yang jelas tentang seseorang yang berdiri di ambang
pintu ruang kerja. Aku menoleh dengan ngeri untuk menatap pintu yang terbuka,
tetapi tidak melihat apa-apa. Perasaan itu tidak mereda, dan aku buru-buru
berdiri untuk menjauhkan diri dari buku iblis itu. Ketika aku mundur, aku
tersandung kaki kursiku, dan jatuh ke lantai.
Aku pingsan.
Ketika aku tersadar kembali,
perasaan gelisah masih menyelimuti. Aku meraba titik kepalaku yang nyeri namun
tidak merasakan luka. Aku pasti pingsan karena ketakutan. “Hah, dasar menyedihkan.” pikirku menyalahkan
diri sendiri sambil memperbaiki posisi kursiku dan duduk lagi. Aku meluangkan
waktu untuk minum segelas air dingin sebelum kemudian kembali ke jurnal yang
ada di atas meja.
Mendekat dengan perasan
was-was, aku mencoba membaca kata di jurnal lagi, hanya untuk melihat apakah
itu akan mempengaruhiku dengan cara yang sama. Tidak ada apa-apa kali ini. Apa
pun yang aku rasakan sebelumnya telah hilang.
Aku begadang hingga larut
malam mencoba memecahkan beberapa kata di jurnal dengan buku Sansekerta sebagai
satu-satunya bantuan. Sayang aku tidak bisa melakukan banyak. Aku hanya bisa
mendapatkan kesimpulan bahwa bahasa itu jelas merupakan kerabat jauh dari
bahasa Sansekerta, tetapi jika ada catatan tentang keberadaannya, aku tidak
memilikinya.
Ketika aku pada akhirnya
menyerah, aku langsung memposisikan diri di sofa dan tidur.
Aku bangun di pagi hari
setelah beberapa jam tidur nyenyak yang mengejutkan, dan segera duduk di mejaku.
Aku membolak-balik jurnal untuk terakhir kalinya, dan dengan menyesal
menutupnya. Untuk saat ini, mencoba memahami buku itu adalah usaha yang
sia-sia.
Sebaliknya, aku menatap
pensil dan mengambilnya. Teks yang kemarin sempat kulihat meliuk-liuk masih ada
disana, namun kini terdiam, membuatku meragukan apakah yang kulihat kemarin
adalah kenyataan.
Apa yang aku lakukan
setelahnya adalah sesuatu yang aku sesali. Aku bahkan tidak ingat alasan kenapa
aku melakukannya. Sampai hari ini, itu menjadi satu-satunya penyesalan terbesar
dalam hidupku.
Aku membuka jurnal ke
halaman kosong, memposisikan pensil di atasnya, dan mulai menulis. Niatku
adalah untuk menulis kalimat sederhana, sesuatu yang fasih dan konyol seperti "Aku punya pensil jahat",
tetapi apa yang ada di halaman ketika aku selesai bukanlah yang ingin aku
tulis. Goresan pensil malah tertulis dalam kalimat yang berbeda, namun dalam
bahasa yang kuketahui.
Apa yang dikatakannya
memperbaharui rasa takut yang tajam, yang aku rasakan sebelumnya. Tidak, aku
tidak akan memberi tahumu apa yang dikatakannya, karena itu bukan sesuatu yang
harus kau ketahui. Aku bodoh ikut campur dalam hal ini, dan paling tidak, yang
bisa aku lakukan sekarang adalah mencoba mencegahmu jatuh kedalam jurang yang
sama.
Mengatasi keraguanku, aku
mencoba lagi, dengan tegas memperbaiki kalimat yang ingin aku tulis dalam
pikiranku. Hasilnya sama, kalimat yang berbeda dari yang pertama, dan sangat
berbeda dari yang aku maksudkan. Seharusnya aku berhenti di situ. Aku
seharusnya membakar buku dan pensil itu setelah mengkonfirmasi keanehan, dan
bersumpah untuk tidak lagi berurusan
dengan hal-hal ini. Sayang, bukanalah itu yang tejradi.
Dalam cengkeraman
keingintahuanku yang salah arah, aku terus menulis. Aku membiarkan diriku jatuh
di bawah kekuatan apa pun yang ada di benda itu, menulis halaman demi halaman
dan mengungkap berbagai macam informasi aneh yang tidak akan pernah berani aku
pikirkan dalam keadaan normal.
Saat aku menulis, aku secara
bersamaan membaca tulisanku sendiri. Tulisan yang tentu berbeda dari apa yang
ingin aku tulis. Darinya, aku belajar
tentang Holder, Seeker dan 2538 Objek yang akan membawa akhir dunia.
Aku mempelajari semua hal
ini dan lebih banyak lagi. Aku merasa seperti pikiranku telah dilempar dengan
kekuatan yang luar biasa ke jangkauan terjauh dari eksistensi, sebelum ditarik
kembali ke kenyataan.
Pada titik tertentu, aku
menyadari mengapa penulis asli berhenti menulis: dia pastinya tidak tahan
dengan kengerian dari apa yang dia tulis. Aku tidak tahu berapa jam atau hari
berlalu ketika aku duduk di mejaku dan menulis, tetapi setelah beberapa saat, aku
perlahan menyadari bahwa lenganku tidak bergerak lagi. Aku melihat ke halaman,
dan melihat bahwa aku telah mengisi sisa jurnal. Terbentang terbuka di halaman
terakhir, isinya menatap tajam ke arahku. Halaman terakhir bukan hanya
kata-kata, tetapi lebih merupakan gambar.
Sebuah lingkaran sempurna
berada di tengah, dikelilingi oleh teks. Kata-kata itu bengkok dan berputar,
membentuk lingkaran di sekitar kata tengah. Beberapa dari lingkaran teks ini
konsentris, yang lain hanya berpotongan, tetapi semuanya menarik perhatian ke
lingkaran di tengah, dan semuanya dalam bahasa yang sama yang mendominasi
jurnal ketika aku menemukannya. Perlahan, dan dengan rasa tidak nyaman yang
semakin besar, aku mulai menelusuri lingkaran dengan jariku, semakin dekat ke
lingkaran tengah yang besar. Aku tidak tahu mengapa aku melakukannya, bahasanya
masih menjadi misteri bagiku saat itu seperti ketikaku menemukan jurnal itu,
tetapi tampaknya, itu adalah hal yang tepat untuk dilakukan. Akhirnya, aku menyentuh
bagian tengah halaman.
Perasaanku semua
mengkhianatiku, dan seolah-olah masing-masing dari mereka telah memutuskan
untuk menafsirkan realitas seperti yang mereka inginkan, daripada bekerja sama.
Aku mendengar hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan apa yang aku lihat atau
apa yang aku rasakan, atau apa yang aku cium, dan tidak ada yang aku alami yang
tampaknya berhubungan dengan baik dengan yang lain. Itu kacau, sempurna dan
lengkap. Aku panik, tidak dapat memahami apa yang aku alami. Rasanya seperti
mencoba melakukan dua belas percakapan berbeda yang semuanya dimulai sekaligus.
Aku berputar ke dalam hiruk-pikuk kegilaan.
Ketika aku akhirnya bisa
memahami lingkunganku lagi, aku takjub menemukan diriku berada di perpustakaan.
Ini bukanlah perpustakaan yang sama tempat aku suka menghabiskan waktu. Tidak,
yang ini jauh lebih tua. Sebagian besar buku tidak lebih dari tumpukan perkamen,
dan bahkan rak-rak itu entah bagaimana tampak membatu karena usia. Juga tidak
seperti perpustakaan yang sering aku kunjungi, yang satu ini seluruhnya terpusat
dalam satu ruangan. Tidak ada lantai lain, hanya satu ruangan siklop yang
membentang kembali ke dalam kegelapan. Meskipun sama sekali tidak ada cahaya, aku
menemukan bahwa entah bagaimana aku bisa melihat, dan aku mampu melihat semacam
pintu di ujung jauh dari bentangan itu. Tida mampu mendapati jalan keluar lain
yang jelas, aku pun menuju ke sana. Saat aku mendekat, pintu menjadi lebih
jelas, menjadi portal besi besar menuju ruangan di luar.
Melewati pintu adalah lorong
panjang. Kedua sisinya, diapit oleh patung-patung dalam berbagai tingkat
kerusakan. Tidak ada pintu di kedua sisinya, dan seperti ruangan sebelumnya,
ruangan itu benar-benar gelap. Tidak ada dua patung yang persis sama, dan
meskipun pada awalnya mereka tampak mirip dengan patung Yunani atau Romawi
kuno, mereka dengan cepat menjadi mengerikan dan aneh semakin jauh di lorong
yang aku lewati.
Kukatakan pada diriku
sendiri bahwa ini hanyalah mimpi, tapi aku tetap saja tersentak ketika kupikir
aku melihat beberapa dari patung-patung itu bergerak. Aku menyadari bahwa aku
bergerak dengan tujuan yang hanya dapat dicapai oleh orang yang tahu persis ke
mana dia pergi, dan ketika aku melewati patung-patung tertentu, aku melakukan
sejumlah isyarat aneh dengan tanganku. Aku tidak tahu mengapa aku melihat
beberapa patung dengan tenang dan hormat, sementara aku berlari melewati yang
lain sampai hilang dari pandangan.
Semuanya tampak sama aneh
dan mengerikannya bagiku. Aku tahu berbagai tindakan yang aku lakukan memiliki
arti penting, dan bahwa hal-hal buruk akan terjadi jika tidak dilakukan, tetapi
bagaimana aku tahu itu adalah sebuah misteri. Akhirnya, setelah sekian lama
berjalan, aku sampai di ujung lorong.
Di ujung aula ada pintu
kecil yang tampak sederhana, dan di sini aku berhenti. Perasaan yang begitu
tiba-tiba, yang menimpaku di ruang kerjaku beberapa waktu lalu menyapuku lagi. Aku
merasakan rasa takut yang paling kuat yang pernah aku alami sebelum atau
sesudahnya. Hampir menyakitkan secara fisik untuk berdiri di sana, di depan
pintu itu. Aku mulai gemetar tak terkendali, dan aku hampir tidak bisa
menunjukkan pengaruh yang cukup pada tubuhku sendiri untuk mengangkat tangan ke
arah kenop pintu. Di suatu tempat di reruntuhan kesadaranku, aku tahu bagian
paling waras dari diriku tengah berteriak, berteriak agar aku berbalik dan lari
secepat mungkin sampai aku meninggalkan tempat ini. Tanpa mengetahui bagaimana aku
tahu, aku yakin bahwa kematianku terletak di balik pintu itu. Dengan usaha
keras, aku akhirnya mengesampingkan penilaianku, dan memegang kenopnya.
Lagipula, aku sudah sampai sejauh ini. Aku akan terkutuk jika aku akan lari
ketika aku begitu dekat untuk mengetahui, untuk memahami apa sebenarnya buku
dan pensil yang mengerikan itu dan mengapa aku lebih takut pada mereka daripada
setan yang paling mengerikan.
Pada akhirnya, aku membuka
pintunya.
Aku menemukan diriku di
sebuah ruangan bundar yang berdiameter sekitar tiga puluh kaki. Dindingnya
seluruhnya tertutup buku, tapi ini bukan buku tebal busuk yang kutemukan
sebelumnya. Ini utuh, meskipun jelas sangat tua, dan mereka mengeluarkan aura
kekuatan yang besar dan mengerikan.
Di tengah ruangan, duduk
seorang pria, menulis di sebuah buku yang tergeletak di atas meja di depannya.
Kepalanya tertunduk ke arah pekerjaannya, jadi aku tidak bisa melihat wajahnya
dengan jelas. Pakaiannya memiliki gaya yang tidak kukenal, panjang dan
mengalir, dan setiap inci kainnya ditutupi dengan kata-kata dan simbol. Aku
mengenalinya sebagai teks-teks dari bahasa yang terlupakan yang telah aku coba
pecahkan, teks-teks yang telah aku tulis di halaman terakhir jurnal itu.
Dia sepertinya tidak
memperhatikanku, meskipun dia pasti mendengarku masuk. Aku berdiri membeku
sejenak di ambang pintu, kemudian menguatkan diri dan mengambil langkah maju.
Pria itu tidak bergerak, dia hanya terus mencoret-coret di buku. Aku mengambil
langkah lebih dekat, masih tidak ada respon. Aku terus mendekat lagi dan lagi,
dan mendapati diriku kini sudah berada di depan mejanya, melihat ke bawah pada
sosok bungkuk pria itu. Dia tidak bereaksi. Aku mengulurkan tangan untuk
menyentuh bahunya.
Bahkan sebelum tanganku
menyentuh pakaiannya, dia bereaksi dengan kecepatan yang luar biasa. Aku hampir
melompat keluar dari kulitku saat jari-jarinya yang kurus mencengkeram
lenganku. Dia mendongak, dan aku menatap langsung ke matanya. Pria itu adalah aku.
Setiap garis, setiap lekukan, setiap fitur wajahku balas menatapku dari tubuh
keriput itu. Matanya, bagaimanapun, matanya berbeda. Mereka tidak memiliki
pupil, tetapi tampaknya terbuka melewati iris ke dalam ruang dengan kedalaman
yang tak terukur. Di mata itu aku melihat planet, bintang, dan galaksi
terbentuk dan mati dalam hitungan detik. Aku melihat kelahiran dan kejatuhan
peradaban, dan aku melihat kegelapan yang mengerikan merayap di dunia kita
sendiri, merusak atau menghancurkan semuanya. Aku menyadari bahwa aku berteriak,
tetapi doppelgangerku tidak
melepaskanku. Dia menarik tangannya yang lain ke belakang, dan aku melihat
tangan itu memegang pensil terkutuk itu, yang sama yang aku tinggalkan duduk di
mejaku dalam jarak yang entah berapa dari tempat aku sekarang berdiri. Aku
hampir tidak punya cukup waktu untuk memahami niatnya sebelum dia memasukkan
instrumen itu ke dadaku. Aku menegang, dan aku merasa jantungku berhenti.
Ingatan terakhir yang aku miliki tentang tempat itu adalah kembaranku yang
membungkuk di atas tubuhku, meraihku. Mulutnya bergerak, tapi aku tidak bisa memahami
kata-katanya karena pandanganku menjadi gelap.
Aku terbangun dan menemukan
diriku berdiri di tengah lorong perpustakaan yang kukenal, di tempat yang sama
di mana aku pertama kali menemukan jurnal itu. Di tangan kiri, aku memegang
jurnal, dan di tangan kanan aku memegang pensil. Ujungnya berlumuran darah.
Ngeri, aku memeriksa luka yang harusnya ada di dadaku, tetapi aku tidak
menemukannya. Secara singkat, aku mempertimbangkan untuk mengembalikan kedua
benda mengerikan itu ke tempat aku menemukannya, tetapi bahkan kini pikiran
untuk melepaskannya membuatku jijik. Pada akhirnya, aku memasukkannya ke dalam
jaketku untuk kedua kalinya, sebelum memutuskan untuk pulang.
Semenjak saat itu, aku jadi
tahu apa yang sebenarnya aku temukan di perpustakaan. Sekarang aku mengerti apa
tempat gelap itu, dan apa yang aku lakukan di sana. Aku mengabaikan segala
macam keputusan rasional dan memilih untuk meninggalkan segala hal tentang
kewarasan, hanya demi pengetahuan. Aku bersedia mengejar pengetahuan itu dengan
biaya berapa pun, bahkan dengan jiwaku sebagai jaminannya. Ketika pengetahuanku
mencapai titik yang sama dengan sang Holder, aku pun menggantikannya sebagai The Holder Of Record yang baru.
Dengan pengetahuan yang aku
peroleh, aku telah melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang belum pernah
dilihat atau akan pernah dilihat oleh mata manusia manapun. Aku telah
menjangkau kegelapan ruang untuk menyentuh apa yang akan membuatmu gila. Aku
bisa merasakan kehadiran objek lain dan mereka yang memegang serta mencarinya.
Bahkan pikiran Legion, yang duduk di museum gelapnya, bisa aku lihat tanpa dia
sadari.
Aku bukan lagi manusia.
Semua kekuatan itu, tentu
saja, datang dengan biaya. Aku dilarang menggunakan kekuatanku untuk membantu
atau menghalangi mereka yang mencari Objek. Aku
hanya bisa menonton, dan merekam kisah mereka untuk selama-lamanya. Aku
tidak lagi memiliki suara dalam eksistensi kosmos.
Apa yang terjadi dengan buku
dan pensil itu? Aku membakar buku itu, karena pengetahuannya sudah aku ingat.
Sedangkan Pensil kini berada di tangan Legion, menjadi satu di museum koleksi
obyek miliknya.
Dia datang untuk menuntutnya
suatu hari, dan aku dengan senang hati memberikannya. Tentu benda itu tidak
lagi berguna dan Legion tidak akan bisa memanfaatkan kekuatannya. Memang, Itu
masih sebuah Object, tapi tulisan yang ada disana telah hilang dari
permukaannya. Pengetahuan yang dipegangnya adalah untukku, dan aku sendiri.
Lalu, apa gunanya datang
kepadaku ketika aku tidak bisa membantumu? Kau tidak berharap ini mudah, bukan?
Kau datang ke sini mencari informasi, dan itulah yang kau dapatkan. Cara memanfaatkannya
adalah tugasmu untuk mencari tahu.
Namun, apakah Kau berhasil
atau gagal, ketahuilah bahwa aku akan mengawasi. Sekarang, pergilah dari sini,
atau hal-hal yang tidak dapat disebutkan namanya dan mengerikan akan terjadi
padamu. Tidak, tidak juga, tetapi kau datang ke sini dengan harapan tertentu,
dan sayang sekali aku tidak mampu memenuhi setidaknya beberapa di antaranya.
Cepat, pergilah sekarang.
Waktu yang ditakdirkan akan segera tiba.
Baca
The Legion’s Objects Lainnya
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih
rakus sama pengetahuan endingnya malah jadi holder
ReplyDeletesemangat min yg untuk updatenya
ReplyDelete