Bagian Kelima dari Cerita The Holder Of Deliverance
Mencari...
File ditemukan.
Tanggal:
Aug-01-08
Penulis:
J. Quincy
Apa
bagian tersulit dalam menemukan seorang Holder? Well, ini adalah hal yang aku
pelajari.
Obyek memberi Holdernya kekuatan untuk mengubah realita sesuka hati. Di dalam dunia mereka, mereka seperti dewa. Jika kau tidak melakukan hal yang benar di tempat yang tepat, kau bahkan tidak akan bisa menemukan Holder-Holder ini. Tentu, ada kasus tertentu dimana sang Holder sendiri, dari awal sudah merupakan sosok yang diluar logika. Karena takdir mereka yang berpapasan dengan obyek, mereka pun kemudian diikat untuk menjadi penjaga. Fakta ini, yang kemudian menjadikan Holder sebagai makhluk paling menakutkan yang pernah ada.
Namun,
ada hal yang harus kau tau. Para Holder sebenarnya tidak seseram Seeker. Kodrat
Holder adalah melindungi obyek; Jika kau tidak menggangu mereka, mereka tidak
akan menyakitimu. Disisi lain, orang-orang yang disebut Seeker ini, mereka rela
melakukan apapun untuk mendapatkan obyek.
Dari
segi moral murni, kau akan paham bahwa Holder akan membunuh Seeker untuk
melindungi obyek. Namun, apa yang membenarkan para Seeker ini untuk
membangunkan Holder-Holder yang bersembunyi, dan merebut obyek yang dia jaga?
Apakah
karena Obyek dirancang untuk dicari? Memang siapa yang bilang begitu?
.
.
.
Jalanan Manhattan tampak
berbeda sekarang. Lebih gelap dan lebih dingin. Wajah-wajah terlihat diselimuti
bayangan, sedangkan mata dingin mereka menatap keluar dari dalam tudung yang
mereka pakai di kepala.
Aku menyadari bahwa ketika
aku berjalan di jalanan, pejalan kaki lain akan menjauh dariku dan memberiku
ruang untuk berjalan. Mungkin itu hanya perasaanku, namun mungkin juga karena
aku kini menjadi bagian dari orang-orang terkutuk yang disebut “Seeker”
Aku mendekati tangga
apartemenku perlahan, dan menaiki tangga itu dengan lamban. Keheningan yang ada
di dalam rumah, hanya terusik ketika aku masuk kedalam.
Bahkan apartemenku terlihat
berbeda sekarang; sangat asing. TV yang aku dapatkan dari orang tuaku, atau
sofa yang aku beli di hari pertama aku tinggal di sini, nampak seperti milik
orang lain.
Apakah ini yang aku
inginkan? Apakah ini jawaban yang selama ini aku cari? Aku telah menembak diriku sendiri di kepala. Lantas bagaimana
mungkin aku masih berdiri di sini? Aku bahkan sudah tidak ingat kapan tepatnya
itu terjadi.
Aku menuangkan segelas jus
jeruk dari lemari es dan meminumnya dengan cepat. Ini menenangkan tenggorokanku
yang kering, tetapi rasanya hambar dan kusam. Aneh, karena, seakan indra
perasaku telah diambil sepenuhnya dariku. Untuk beberapa alasan, aku sudah
lelah untuk terkejut.
Ketika aku melihat ke jalan
dari jendelaku, aku melompat dan berkedip; untuk sesaat, aku melihat bayangan
hitam berada di tempat di mana sang Putri Salju pernah berdiri.
Gelas jus jeruk terlepas
dari tanganku, pecah di lantai, dan aku mengumpat dengan keras karena kaget.
Aku melihat kembali ke luar jendela, tapi bayangan itu sudah tidak ada lagi.
Hal semacam ini sudah sering
terjadi sejak aku kembali dari ‘pencarian obyek’ yang kulakukan. Ke mana pun
aku melihat, bayangan akan selalu ada, mengintai di sudut mataku, dan
sepenuhnya akan menghilang ketika aku menoleh. Aku bahkan sering melihat wajah
si Putri Salju di wajah orang-orang yang berjalan melewatiku.
Ketika aku mencoba
membereskan pecahan kaca gelas dan membuangnya, aku melihat ada luka di jariku.
Setetes darah mengalir di sana, dan aku bahkan tidak bisa merasakannya. Tanpa rasa,
tanpa sentuhan, tanpa bau.
Seseorang di jalan sempat
lewat, sebelum berhenti untuk melihat ke tempatku berdiri, dan mata kami saling
bertemu. Tidak ada beberapa detik dan pejalan kaki itu bergegas pergi seolah-olah
dia telah melihat hantu.
Sore itu, aku hanya melamun
ketika kulihat salju mulai turun. Bagiku, salju ini tidak terlihat indah, hanya
pahit dan dingin.
Menit berlalu dengan cepat,
dan waktu terus berjalan. Aku tetap berdiri di dekat jendela, dan menatap
hamparan aspal yang tidak ada apapun disana. Sudah sekian hari aku kembali dari
perjalananku ke tempat The Holder Of
Change, dan semua belum terasa nyata.
Malam itu, berbaring di
tempat tidurku, aku menatap meja di samping tempat tidur, tempat selongsong
peluru kosong yang aku dapatkan tergeletak. Benda itu berkilauan dengan polos, namun
menahan perhatianku selama berjam-jam ketika aku mencoba untuk tertidur. Tepat
sebelum aku hanyut ke alam mimpi, aku mendengar bisikan lembut melayang di
udara, nyaris tak terdengar.
Mimpiku adalah kegelapan
yang meliputi segalanya, dan air hitam mengalir deras di atas kakiku. Rasa
dinginnya yang sedingin es merayapi kulit dan ototku, naik ke tubuhku dan
seluruh permukaan badan. Seperti tak berpakaian, hawa dingin menusuk ke dalam
tubuhku, bahkan sampai ke dalam-dalam. Perasaan ini sama seperti sebelumnya, di
rumah sakit jiwa, ketika suara mayat itu berbisik di telingaku.
Diantara hawa tidak
menyenangkan itu, ada kekuatan yang tak tertahankan serasa mendorongku dari
belakang, memaksaku untuk berlutut. Tanganku terciprat ke dalam air hitam, dan
aku merasakan sesuatu yang licin menempel di jari-jariku. Ketika aku menarik
tanganku, jari-jari ku sudah dipenuhi sesuatu yang mengkilat dan gelap.
Pukul
5:38 pagi, sebelum matahari repot-repot menyambut Manhattan, aku
sudah duduk tegak dan bangun karena berteriak sekuat tenaga. Minyak di tanganku
meninggalkan bekas hitam di seprai, yang dengan cepat aku segera sobek dari
tempat tidur.
Melolong seperti binatang
buas, aku menarik meja kecil disamping tempat tidurku, dan melemparkannya
sekuat mungkin ke seberang ruangan. Benda itu menabrak cerminku dengan bunyi
yang memekakkan telinga, sehingga membuat serpihannya berserakan dilantai.
Karena semua sudah terlanjur
kacau, aku merusak semua benda yang bisa aku lihat.Tempat tidurku, TV-ku,
komputerku, semuanya.
Aku
berharap aku tidak tahu, aku berharap aku tidak tahu! Kenapa aku harus tahu?! Darah
menetes dari tanganku saat aku selesai meninju jendela. Detik ini, aku bahkan
tidak merasakan angin dingin di lukaku yang terbuka. Aku terus menunju, dan
menghujani kaca di trotoar.
Kenapa
aku harus tahu?!
Sekarang jam 6:00, dan aku sudah
mulai tenang. Aku mengambil mantelku, bersiap menjalani hari dengan
meninggalkan apartemenku tanpa membereskannya. Di pikiranku sekarang, aku hanya
ingin melaksanakan agenda yang sudah aku rencanakan : Bertemu sang Pustakawan.
Karena aku sudah terlanjur
tau, aku harus menjalaninya.
Aku keluar dari New York
jauh sebelum matahari terbit, dan pada saat aku keluar dari negara bagian itu,
aku menyadari kalau aku telah berkendara jauh melebihi batas kecepatan.
Secara nyata, aku telah
melewati banyak mobil selama beberapa jam, namun, kenapa aku belum
diberhentikan juga oleh polisi? Aku jelas melihat beberapa diantara mereka ketika
aku melintas dengan kencang. Tsk! Tentu saja! orang-orang telah menghindariku
sejak aku meninggalkan rumah sakit jiwa, jadi mungkin itu terbayar sekarang.
Pikiranku masih kacau,
tetapi ada sesuatu yang mendorongku untuk melangkah lebih jauh. Satu jawaban
menyebabkan lebih banyak pertanyaan, dan aku tidak akan pernah melupakan apa
yang telah dikatakan oleh The Holder Of
Change.
Meskipun begitu, adrenalinku
masih tinggi. Apapun nampaknya tidak akan menghalangiku untuk mencari tahu
tentang Putri Salju, Pendulum, dan pesan yang dia tinggalkan di aspal.
Ini adalah perjalanan yang
sepi, namun aku tidak sendirian. Semacam suara-suara sudah menemaniku semenjak
aku mengemudi. Itu sudah coba aku abaikan sedari tadi, karena aku tidak selalu
bisa mengerti apa yang dikatakannya.
Tentu hal ini sangat
mengganggu, terlebih ketika suara itu kudengar sangat dekat, seakan berbisik
tepat di telingaku. Terserah lah dia mau berisik
atau apapun! Pikirku.
Waktu cepat berlalu ketika
aku fokus pada jalan di depanku. Sebelum aku menyadarinya, aku telah memasuki
batas kota Boston. Aku memang sempat mencetak denah lokasi ke alamat si
Pustakawan ini, sebelum aku melakukan pencarian bodoh di rumah sakit jiwa itu,
Ketika aku melihat rumahnya
tepat berada di samping mobilku yang melaju, aku menginjak rem dan menepi.
Setelah mengecek kebenaran alamat, aku pun tanpa pikir panjang mendekati
pintunya.
Aku membunyikan bel pintu
dan menunggu dengan cemas. Setelah beberapa menit menunggu dengan tidak sabar,
pintu terbuka, dan sebuah wajah muncul. Pustakawan menatapku melalui kacamata
bundar. Dia jelas lebih muda dariku; perawakannya jelas tidak seperti yang aku
harapkan sama sekali.
Dia menatapku dengan senyum
aneh, namun binar di matanya.
“Apakah kau si Pustakawan?” aku
bertanya dengan suara serak. “Aku kesini untuk
membicarakan tentang Pendulum.”
Dia tersenyum penuh arti
padaku.
“Hah! Aku sudah mengharapkan kedatanganmu.” Dia berdiri dan menahan pintu agar terbuka untukku.
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih
0 Response to "[The Holder Of Deliverance] Part 5 : Jawaban"
Post a Comment