Harlem Hellfighter adalah satuan kulit hitam di tentara Amerika Serikat yang bertempur di Perang Dunia lebih banyak dibanding siapapun. Terlepas dari banyaknya misi yang mereka jalani, mereka nampaknya tidak mendapat pengakuan sebagaimana mestinya.
Harlem Hellfighter
Bagi tentara yang berperang
dalam Perang Dunia I, garis depan adalah neraka di Bumi. Meskipun begitu, salah
satu resimen Amerika Serikat, tercatat melawan api neraka dengan api neraka.
Dijuluki "Harlem Hellfighters" oleh
musuh Jerman mereka yang ketakutan, kelompok tentara serba hitam ini
membuktikan keberanian mereka di medan perang meskipun mengatasi rintangan yang
luar biasa.
Hellfighters, atau secara
resmi bernama Resimen Infanteri ke-369
dari New York Army National Guard,
tanpa rasa takut melawan Jerman lebih lama daripada unit Amerika lainnya. Mereka
bertempur dengan gagah berani demi mempertahankan harkat dan martabat negara
Amerika Serikat.
Sayangnya, dimasa kemelut
Amerika yang belum bisa lepas sepenuhnya dari rasisme, para Hellfighters tidak
pernah benar-benar mendapatkan hak mereka sebagai pejuang.
Sejak awal dibentuk, mereka
menghadapi diskriminasi rasial dari negara mereka sendiri. Diskriminasi tersebut,
bahkan berlanjut setelah mereka kembali ke rumah sebagai pahlawan di akhir
perang.
Selama beberapa dekade
setelah perang, upaya mereka yang gagah berani diabaikan. Hanya dalam beberapa
tahun terakhir, Harlem Hellfighters mulai mendapatkan tempat yang layak dalam
sejarah.
Bagaimana Harlem Hellfighters Terbentuk
Sebelum mereka menjadi
Harlem Hellfighters, mereka adalah Resimen New York Army National Guard ke-15, yang merupakan satuan khusus
Afrika-Amerika.
Gubernur New York, Charles
Whitman, telah menyerah pada tekanan dari para pemimpin politik kulit hitam
untuk membentuk unit tersebut pada tahun 1916.
Satuan khusus itu dipimpin
oleh William Hayward. Mantan kolonel Garda Nasional Nebraska kulit putih yang
merupakan pendukung kampanye Whitman sebagai Gubernur.
Awalnya sih, satuan itu
termasuk prajurit kulit putih juga. Namun, Hayward dikabarkan mulai memecat
satu persatu para prajurit kulit putih sehingga hanya menyisakan orang-orang
kulit hitam saja.
Sebelum satuan itu
sepenuhnya didominasi oleh kulit hitam, Hayward nampaknya menyadari sikap
rasisme yang ditunjukkan oleh prajurit kulit putih sehingga mengganggu misi dan
kebersamaan prajurit. Dia mengatakan kepada prajurit kulit putih bahwa jika
mereka “berniat
untuk berpikir sempit, sebaiknya keluar saja dari kesatuan.”
Tentu permasalahan rasial
tidak hanya berkisar di dalam unit saja. Di luar, New York Army National Guard ke-15, diperlakukan berbeda dari unit
Garda Nasional lainnya.
Markas New York Guard
dilaporkan tidak pernah mengirimi mereka seragam atau senjata untuk berlatih.
Sehingga satuan kulit hitam itu, sering mengenakan pakaian sipil dan berlatih
dengan sapu.
Memang, tokoh kulit hitam
tidak mengerti mengapa mereka harus berjuang untuk negara yang memperlakukan mereka
secara tidak setara. Ketika Presiden Woodrow Wilson meminta negara itu untuk
membuat dunia aman bagi demokrasi, banyak aktivis kulit hitam yang menyinggung
pada bahaya yang dihadapi orang kulit hitam Amerika di negeri mereka sendiri.
Tentu kebingungan tersebut
tidak berlaku kepada New York Army
National Guard ke-15. Mereka, meskipun mengalami diskriminasi, tetap bertekad
untuk berjuang demi negara mereka.
Itulah kenapa, mereka
berbaris dengan senang hati ketika mereka diikutsertakan dalam pelatihan dasar militer
di Deep South.
Pelatihan Militer
Sebelum mereka bisa melayani
negara mereka di Eropa, Harlem Hellfighters harus pergi ke Spartanburg,
Carolina Selatan. Di sana, Hayward memerintahkan pasukannya untuk menghadapi
rasisme dengan “ketabahan
dan tanpa pembalasan.”
Sayang, terlepas dari
ucapannya itu, Hayward tetap khawatir apabila unitnya didiskriminasi. Hal itu
tentu saja karena dia mengingat walikota Carolina Selatan telah secara terbuka
menyatakan bahwa :
“Jika salah satu dari tentara kulit hitam itu pergi ke salah satu
toko soda atau toko-toko kami dan meminta untuk dilayani, mereka akan dihajar.
Kami memiliki kebiasaan kami di sini, dan kami tidak akan mengubahnya.” (anjrit rasis cok)
Terlepas dari kenyataan
bahwa para prajurit bersiap untuk membela negara mereka, mereka mengalami
ejekan rasial dan kekerasan fisik dari rekan senegaranya.
“Ada segala macam hinaan yang dilontarkan ke diri kami yang sedang
bertugas di kota,” kenang musisi resimen,
Noble Sissle dalam memoarnya. "itu adalah kenangan yang cukup pahit."
Rupanya masalah rasial yang
mereka hadapi di Spartanburg sangat parah sehinga Hayward harus terbang ke
Washington DC dan memohon otoritas Angkatan Darat agar unitnya dibebaskan dari
kewajiban pelatihan militer.
Pada akhirnya, Unit kulit
hitam itupun harus meninggalkan kota agar tidak terjadi insiden besar.
Yap, memang terdengar
seperti kenangan yang pahit.
Perang Dunia Ke I
Tentu membagi suka dan duka
bersama, adalah hal yang kemudian menjadikan mereka sebagai sosok yang solid.
Kala perang dunia pecah,
satuan itu diberangkatkan ke Eropa pada Januari 1918 sebagai Resimen Infanteri
ke-369. Tapi mereka menyebut diri mereka "Black Rattlers", sebelum
kemudian dikenal luas sebagai Harlem Hellfighters.
Pada awalnya, Harlem
Hellfighters dibatasi untuk tugas-tugas kasar yang secara rutin dibagikan
kepada tentara berkulit Hitam. Tapi Hayward melobi Jenderal John Pershing untuk
membiarkan anak buahnya bertarung. Dan Pershing akhirnya mengalah—meskipun
hanya karena Prancis dan Inggris menuntut lebih banyak tentara Amerika untuk
ditempatkan di tempat-tempat strategis.
“Sebuah dongeng telah terwujud,” tulis
Hayward. “Kami
sekarang adalah unit tempur… Jenderal Amerika kami yang hebat hanya memasukkan
anak yatim piatu hitam ke dalam keranjang, meletakkannya di depan pintu
Prancis, menarik bel, dan pergi.” (Maksudnya, tentara kulih hitam
dilepas ke medan perang dan mati atau hidup, Jenderal mereka gak peduli)
Di bawah komando Prancis, Unit-369
melompat ke medan perang pada 15 April 1918, jauh lebih awal dari pasukan
Amerika lainnya. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk membuktikan kemampuan
mereka.
Dua tentara khususnya, Kopral
Henry Johnson dan Prajurit Needham Roberts, menunjukkan kemampuan luar biasa
Harlem Hellfighters dalam peperangan.
Pada tanggal 15 Mei 1918,
Johnson dan Roberts sedang mempertahankan sebuah pos pengintaian ketika sebuah
unit Jerman datang melewati parit. Kalah jumlah dan senjata, mereka tetap berhasil
mengusir serangan Jerman—menewaskan empat dari 24 orang Jerman.
Beberapa hari kemudian, Prancis
menganugerahi mereka medali Croix de
Guerre yang bergengsi, dan kisah-kisah kepahlawanan mereka pun mulai
menyebar ke seluruh dunia.
“Dua Tentara Negro New York Menggagalkan Serangan Jerman,” tulis koran New York World.
Tentu kala itu, Johnson dan
Robert telah melakukan lebih dari sekadar mengusir serangan. Mereka telah
membuktikan bahwa tentara kulit hitam sama ganasnya dengan tentara kulit putih.
Bahkan orang Prancis, yang sempat memiliki keraguan rasis mereka sendiri
tentang unit itu pada akhirnya ikut terpesona oleh keberanian mereka.
Secara keseluruhan, Harlem
Hellfighters menghabiskan 191 hari dalam pertempuran—lebih lama dari unit
Amerika lainnya. Selama waktu itu, mereka tidak pernah mundur dan tidak ada
dari mereka yang pernah ditangkap.
Tentu saja terlepas dari pencapaian mereka, tetap masih ada korban yang berjatuhan. Karena dalam masa penugasan tersebut, tercatat bahwa lebih dari setengah unit asli, dilaporkan terbunuh atau terluka parah.
Between Nationalism and Racism
Setelah berakhirnya perang
pada November 1918, pasukan Harlem Hellfighters pun dipulangkan dan kembali ke
Amerika Serikat.
Ketika Harlem Hellfighters
pergi berperang pada tahun 1917, mereka tidak diundang untuk berpartisipasi
dalam parade perpisahan kota. Itu adalah parade yang bernama “Rainbow Division”—Pada
saat itu, Hayward telah diberi tahu bahwa hitam bukanlah warna di Pelangi.
“Memang parade perpisahan sialan!” Amarah
Heyward kala itu. “Kami akan membuat parade sendiri ketika kami kembali, dan itu akan
menjadi parade yang akan membuat sejarah.”.
Pada 17 Februari 1919, unit
tersebut dengan penuh kemenangan kembali ke New York City. Saat 3.000 veteran
berbaris di sepanjang 5th Avenue, mereka disoraki oleh kerumunan (orang kulit
hitam dan beberapa kulit putih), yang luar biasa banyak. Itu, adalah sorakan
kebanggaan dan kagum—surat kabar
memperkirakan bahwa antara beberapa ratus ribu dan lima juta orang muncul.
Tapi, pesta tidak
benar-benar dimulai sampai Hellfighters mencapai Harlem.
Di sana, para Hellfighters
disemangati oleh keluarga dan teman-teman, yang juga berduka atas orang-orang
yang tidak berhasil pulang. Para Hellfighters telah bertempur lebih lama dari
resimen lainnya. Dan mereka juga kehilangan lebih banyak pria. Pada akhir
perang, korban meninggal dari unit mereka tercatat sebanyak 1.400 korban.
Saat perang memudar dan
dunia kembali menjadi damai, Harlem Hellfighters meninggalkan kesan mereka
kepada orang-orang di garis depan. Para tentara Prancis, akan mengingat mereka
dengan julukan “The Men Of Bronze” (para
pria perunggu)
Rupanya, unit tersebut juga
telah membawa musik jazz ke orang-orang Eropa yang tercengang dan gembira.
James Reese Europe, musisi di unit tersebut, berkomentar setelah pertunjukan di
Prancis bahwa:
“Di mana pun kami mengadakan konser, itu adalah kerusuhan. Kami
bermain untuk 50.000 orang di Tuileries, setidaknya, dan jika kami
menginginkannya, kami mungkin akan bermain lagi.” (yang
dimaksud adalah konser alakadarnya didepan para tentara yang lelah berperang)
Tentu tidak semuanya adalah kebahagiaan
bagi para Hellfighters. Terlepas dari kebanggaan orang-orang di garis depan,
kebangaan di negeri sendiri nampaknya kurang dari cukup untuk menghargai
perjuangan mereka.
Kembalinya mereka yang
gembira menandai kebenaran yang kelam. Rupanya, tidak banyak yang berubah.
Memang, banyak orang kulit putih takut bahwa setelah bertugas di militer, orang
kulit hitam Amerika akan menuntut lebih banyak hak .
Seorang pembicara kulit
putih di New Orleans, bahkan mengatakan kepada orang kulit hitam:
“Kau [Orang Kulit Hitam] bertanya-tanya bagaimana kau akan
diperlakukan setelah perang. Yah, kukatakan padamu, kau akan diperlakukan
persis seperti kau sebelum perang. Ini adalah negara orang kulit putih, dan
kami berharap untuk mengaturnya sesuka kami.”
Musim panas itu, kerusuhan
antar ras yang mengerikan melanda seluruh negeri. Apa yang disebut tragedi " Red Summer Of 1919 "
menewaskan ratusan orang. Kerusuhan yang didasari (lagi-lagi) karena
diskriminasi kepada orang kulit Hitam, menegaskan bahwa Amerika Serikat masihlah
negara bobrok yang tidak tahu diri (Setidaknya sampai kala itu)
Harlem Hellfighter, bagaimanapun,
pada akhirnya akan mendapat rekognisi yang layak mereka dapatkan bertahun-tahun
kemudian.
Itu adalah rekognisi
berwujud penghargaan kepada Veteran Harlem Hellfighter Johnson dan Roberts
Purple Hearts, yang diberikan oleh Presiden Bill Clinton pada tahun 1996. Pada
tahun 2015, penghargaan militer akan kembali mengharumkan nama Harlem
Hellfighter ketika Barack Obama memberikan penghargaan tertinggi militer kepada
Henry Johnson, yaitu Medal of Honor.
Dalam penyerahan penghargaan,
presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat itu berkata : “Tidak ada kata
terlambat untuk mengucapkan terima kasih.”
Respect
respect..
Baca
Juga :
- Flag Of Their Fathers : Kontroversi Dibalik Pengibaran Bendera Amerika Serikat Yang Ikonik Di Pulau Iwo Jima
- The Lone Army : Kisah Prajurit Bernama Hiroo Onoda yang Terus Beperang Sendiri Bahkan Setelah Jepang Menyerah
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih
0 Response to "Harlem Hellfighter : Pasukan Kulit Hitam AS yang Harus Melawan Musuh dan Rasisme di Perang Dunia Pertama"
Post a Comment