Pada 12 Oktober 1915, perawat Inggris bernama Edith Cavell dibunuh oleh regu tembak Jerman. Alasannya? Karena dia rupanya membantu sekitar 200 tentara Sekutu melarikan diri dari Belgia yang diduduki Jerman kala itu.
Edith Cavell
Edith Cavell lahir pada 4 Desember
1865, di Swardeston, Norfolk, Inggris. Dia adalah anak tertua dari empat bersaudara
dan putri seorang Pendeta bernama Frederick Cavell,.
Meskipun ayahnya itu
terbilang keras, dia memberi anak-anaknya pendidikan awal dan mengajari mereka
nilai-nilai kewajiban, pengorbanan diri, dan iman.
Ketika ayahnya menyebutkan
perlunya memperluas gerejanya untuk memberi ruang lebih banyak jamaah, Cavell
dan saudara-saudaranya melukis dan menjual kartu untuk membantu ayahnya
mengumpulkan dana.
Seiring bertambahnya usia,
Cavell mengambil beberapa langkah penting menuju takdirnya. Ketika dia
menunjukkan bakat bahasa Prancis di sekolah asrama, kepala sekolahnya
merekomendasikan dia sebagai pengasuh untuk keluarga Francois di Brussel,
Belgia.
Kala ayahnya jatuh sakit
pada tahun 1890, Cavell yang merawatnya menjadi yakin kalau dia harus menjadi
perawat.
Dari sana, semuanya mulai
semakin jelas. Cavell diterima magang di Rumah Sakit London di Whitechapel. Dia
menjadi asisten dokter di Shoreditch. Segera setelah itu, Dr. Antoine Depage,
seorang teman dari keluarga Francois, menawari Cavell pekerjaan di Belgia.
Depage diketahu telah
mendirikan klinik bernama L'École Belge
d'Infirmières Diplômées pada Mei 1907. Keperawatan yang merupakan peluang
karir baru, menempatkan wanita profesional dalam peran yang telah lama diduduki
oleh biarawati.
Edith Cavell, berkembang
pesat di Brussel. Pada tahun 1914, dia sudah menjadi pekerja tetap dan
merupakan pengisi kuliah mingguan, serta hidup bersama dua anjingnya, Don dan
Jack.
Perang Dunia ke II
Ketika Jerman menginvasi
Belgia pada Agustus 1914, Edith Cavell sempat mengunjungi ibunya yang ada di
Inggris. Cavell sebenarnya bisa saja menghindari perang dan tetap tinggal di
Inggris. Tapi, dia bersikeras untuk kembali ke Brussel.
“Pada saat seperti ini,” kata
Cavell, “Aku
lebih dibutuhkan dari sebelumnya.”
Pada titik ini, Edith Cavell
berada di tahun ketujuh sebagai kepala sekolah di Institut Medis Berkendael,
sebuah sekolah pelatihan perawat. Bangunan tersebut, kemudian diubah menjadi rumah
sakit Palang Merah selama perang dunia pertama.
Saat tentara yang terluka
mulai berdatangan, Cavell menginstruksikan perawatnya untuk memperlakukan semua
pria secara setara—terlepas dari kebangsaan mereka.
“Setiap laki-laki adalah ayah, suami, atau anak,”
katanya . "Profesi
keperawatan tidak mengenal batas."
Tekad Edith Cavell untuk
membantu mereka yang membutuhkannya diuji setelah Pertempuran Mons. Kala itu,
150.000 tentara Inggris mundur dari Belgia, dan meninggalkan yang terluka
sehingga rentan untuk ditangkap. Ketika dua tentara Inggris dibawa ke Cavell
pada bulan September 1914, dia setuju untuk membantu mereka.
Tetapi Cavell melakukan
lebih dari sekadar merawat para pria itu agar sehat kembali. Dia juga membantu
menyelundupkan mereka keluar dari Brussel dan ke Belanda yang kala itu masih
wilayah netral.
Aksi itulah yang kemudian
menandai awal dari perlawanannya yang diam-diam terhadap pendudukan Jerman.
Seperti yang Cavell katakan pada dirinya sendiri: "Aku tidak bisa berhenti selagi ada nyawa
yang harus diselamatkan."
Dia bekerja dengan rajin
selama beberapa bulan berikutnya untuk membantu orang lain. Saat Jerman
mengeluarkan peringatan di seluruh Brussel tentang apa yang akan terjadi pada
siapa saja yang membantu musuh Jerman, Cavell tetap menerima sekitar 200 tentara
Sekutu ke rumah sakitnya—dan membantu membawa mereka ke tempat yang aman.
Tentu Cavell berusaha keras
agar tidak ketahuan. Namun, itu semua tetap tidak cukup.
Orang-orang Jerman, kala itu
rupanya sudah mengamati perawat Inggris itu dengan curiga. Dan ketika seorang mata-mata
Jerman bernama Georges Gaston Quien melewati rumah sakit Cavell dan
berpura-pura menjadi tentara yang membutuhkan bantuan, Cavell tertangkap basah.
Eksekusi yang Membuat Marah Dunia
Pada tanggal 5 Agustus 1915,
Edith Cavell ditangkap oleh otoritas Jerman dan dikirim ke penjara St. Gilles
di Brussel.
“Tujuanku bukan untuk membantu musuhmu,”
kata Cavell dalam persidangannya pada Oktober 1915, “tetapi untuk membantu orang-orang yang meminta
bantuan dan menyeberangi perbatasan untuk kembali ke anak istri mereka.”
“Seandainya
aku tidak membantu,” tambah Cavell, “Mereka (para prajurit) pasti akan ditembak.”
Tentu sebagai tokoh
antagonis yang akan menjadi pusat 2 perang berutut-turut, Jerman tidak
bersimpati sama sekali. Cavell dan sebagian besar ‘komplotannya’, pada akhirnya
didakwa dengan tuduhan "membantu tentara ke musuh."
Hal tersebut, dibawah hukum Martial Law Jerman, hukumannya adalah
kematian.
Jelas hal tersebut membuat orang-orang
di seluruh dunia marah. Namun sayangnya tidak ada yang bisa dilakukan untuk
menyelamatkan Cavell kala itu.
Sebenarnya, dalam Konvensi
Jenewa Pertama, rupanya sudah diatur tentang perlindungan bagi tenaga medis.
Sayang poin tersebut rupanya dicoret karena banyak peserta perjanjian
khawatir, bahwa akan ada pihak yang menggunakan alasan “paramedis” kala
melakukan hal-hal yang buruk.
Bahkan, menghadapi hal
seperti itu, negara tanah kelahiran Edith Cavell sendiri, yaitu inggris rupanya
menolak untuk membantu.
“Setiap perwakilan oleh kami akan mendatangkan lebih banyak
berbahaya daripada kebaikan,” kata
Lord Robert Cecil , Wakil Menteri Luar Negeri.
Eksekusi Edith Cavell
Kala itu, Amerika Serikat (yang
masih netral pada tahun 1915) mencoba untuk campur tangan. HS Gibson, seorang
diplomat Departemen Luar Negeri AS di Brussel, memperingatkan Jerman bahwa
membunuh Edith Cavell akan menambah catatan buruk untuk mereka.
Sebagai tanggapan, seorang
pejabat Jerman membentak bahwa satu-satunya penyesalannya adalah bahwa dia
tidak memiliki "tiga
atau empat wanita Inggris tua untuk ditembak."
Pada 12 Oktober 1915, Edith
Cavell dieksekusi oleh regu tembak Jerman. Dia berusia 49 tahun ketika dia
meninggal.
Pada awalnya, Jerman mengira
bahwa membunuh Edith Cavell akan memberikan contoh kepada yang lain agar tidak
melakukan hal yang dia lakukan. Sayangnya, itu justru memiliki efek sebaliknya.
Angkatan Darat Inggris akan
mengalami peningkatan luar biasa (lebih dari 50%) dalam perekrutan anggota
baru. “Kekejaman Jerman” adalah yang kemudian memotivasi tentara Inggris untuk
bergabung dan mengabdi di medan perang.
Seorang novelis bahkan
menyindir "Tentara
Jerman akan merasa lebih baik kehilangan seluruh korps tentara daripada
membantai Miss Cavell."
Kematian Cavell, kemudian
menjadi simbol propaganda penting bagi kekuatan Sekutu. Eksekusi tersebut,
adalah bukti kebrutalan Jerman dan alasan kuat sekutu untuk memenangkan perang.
Ketika Sekutu menang, tubuh
Cavell digali dari Belgia dan dibawa
pulang.
The Symbol
Edith Cavell telah lama
dikenang sebagai seorang martir. Dia juga merupakan seseorang yang bersedia
membantu mereka yang membutuhkannya, terlepas dari bahaya yang mengancam
hidupnya.
Beberapa tahun pasca kematiannya,
sebenarnya “kemurinan” Edith Cavell sebagai seorang perawat nampaknya sempat
dipertanyakan.
Penulis biografi Cavell,
Diana Souhami, mencatat bahwa intelijen Inggris rupanya berusaha menyembunyikan
informasi setelah kematian Cavell yang menunjukkan bahwa dia, Edith Cavell,
adalah mata-mata Inggris.
Semua baru terungkap jelas
ketika Stella Rimington, mantan kepala M15, bahkan membenarkan hal ini. “Tujuan utama
Cavell adalah mengembalikan tentara Sekutu yang disembunyikan ke Inggris,” kata Rimington.”Selebihnya, tentara-tentara tersebut akan
pulang membawa informasi intelejen yang dapat dilaporkan.”
Orang-orang yang dibantu
Edith Cavell, rupanya melarikan diri dari Belgia sembari membawa informasi
tentang militer Jerman yang disembunyikan di sepatu mereka dan dijahit ke
pakaian mereka.
Richard Maguire dari
University of East Anglia, cuku mempercayai bahwa Cavell bekerja untuk
intelijen Inggris—jika tidak secara langsung, maka secara tidak langsung.
“Apakah ini membuat Cavell menjadi seorang mata-mata?” Maguire bertanya. “Itu tergantung pada definisi anda tentang istilah itu. Aku
sendiri berpendapat bahwa keseimbangan bukti menunjukkan bahwa dia, nampaknya
memang agen yang aktif dan sangat sukses untuk membantu upaya perang pemerintah Inggris.”
Tentu, tanpa konfirmasi dari
Edith Cavell sendiri, tidak mungkin rasanya dapat memahami apa motivasinya
dalam membantu tentara melarikan diri dari Belgia.
Meskipun begitu, tindakannya berbicara lebih keras daripada
kata-kata. Berkat Edith Cavell, ratusan tentara dapat melarikan diri dari wilayah
pendudukan dan berhasil pulang.
Orang-orang yang dia
selamatkan kala itu, ayalnya merupakan pencapaian terbesarnya sebagai petugas
medis.
Baca
Juga :
- Departemen Store Lévitan : Ketika Nazi Menjarah Barang-Barang Yahudi dan Menjualnya dengan Harga Murah
- Story Of “Stubby” : Seekor Anjing yang Diangkat menjadi Sersan Selama Perang Dunia Pertama
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih
0 Response to "Edith Cavell : Seorang Perawat, Martir dan “Kemungkinan” Mata-Mata di Perang Dunia Pertama"
Post a Comment