Pada Perang dunia ke II, di hutan Vietnam di mana ketertiban dan disiplin tergantung hanya pada pemimpin regu, beberapa perwira Amerika Serikat menghadapi bahaya yang lebih besar daripada tentara Viet Cong : anak buah mereka sendiri.
Statistik
melaporkan bahwa insiden fragging
yang terjadi di perang Vietnam nyatanya lebih besar dibanding perang manapun.
Apa Itu Fragging?
Ketika
Perang Vietnam tak kunjung usai, kebanyakan tentara mulai melihat perang
sebagai aksi tidak adil kepada warga lokal (dan perang yang tidak dapat
dimenangkan). Hal tersebut lah yang kemudian mengarah para pemberontakan
terbuka dari beberapa tentara kepada pemimpin pasuknnya.
Melalui
“peng-granat-an”, dari mana istilah "fragging"
berasal , seorang prajurit dapat secara efektif membunuh seorang perwira tanpa
meninggalkan bukti apa pun (Dengan cara melemparinya dengan granat)
Karena
(secara tekhnis) granat meledak saat dilemparkan, semua sidik jari pun hancur bersamanya.
Granat juga tidak diberi nomor seri yang unik sebelum dibagikan kepada tentara,
sehingga upaya apa pun untuk melacak pembunuh dari catatan, tidak mungkin
dilakukan.
Serangan
fragging biasanya merupakan pembalasan
kepada perwira yang mendisiplinkan anggotanya dengan keterlaluan, meskipun
terkadang juga merupakan cara yang efektif bagi pasukan yang khawatir dan
hendak menyingkirkan seorang perwira yang mereka anggap tidak kompeten.
Target
kadang-kadang bahkan diberi peringatan terlebih dahulu dalam bentuk granat
dengan nama mereka dicat di atasnya, diletakkan di tempat tidur mereka dengan pin yang masih terpasang.
Contoh Kasus Fragging
Pada
malam tanggal 15 Maret 1971, sekelompok perwira artileri Amerika yang
ditempatkan di pangkalan Angkatan Udara Bien
Hoa sedang menikmati makan malam dan istirahat.
Suasana
santai tersebut, tiba-tiba pecah sekitar pukul 1 dini hari ketika suara ledakan
terdengar di pangkalan. Para tentara yang menganggap ledakan itu adalah
serangan dari Viet Cong, dengan cepat
bersiap untuk membela diri. Anehnya, pasca mereka sudah siap membawaperlengkapan
dan senjatanya menuju sumber suara, tidak ada suara permusuhan lebih lanjut.
Mereka segera diberitahu oleh komandan batalyon bahwa sumber keributan itu adalah granat yang telah dilemparkan melalui jendela yang terbuka ke tempat tidur seorang perwira. Serangan itu menewaskan Letnan Dua Richard E. Harlan dan Letnan Satu Thomas A. Dellwo.
Para
tentara lain segera menyimpulkan bahwa serangan itu tidak datang dari musuh
sama sekali, tetapi mereka berpendapat bahwa granat yang merenggut nyawa dua
atasan mereka dilempar oleh sesama prajurit, yaitu Prajurit Billy Dean Smith.
Kala
menjalani sidang militer, Smith mengatakan bahwa alasan dia melakukan aksinya
itu, adalah karena sikap rasis yang ditunjukan kepadanya oleh dua perwira
tersebut. Smith, adalah pria kulit hitam. Meskipun tuntutan sempat memberatkan
Smith kala sidang, tetapi pada akhirnya, juri membebaskan Smith pada tahun
1972.
Sementara
Dellwo dan Harlan mungkin menjadi korban pertama yang akan didengar publik
Amerika, mereka jelas bukan yang paling pertama dan tidak akan menjadi yang
terakhir. Dalam masa perang Vietnam yang berkepanjangan, insiden fragging akan lebih sering muncul dan
menjadikan perpecahan diantara tentara AS tidak mungkin bisa diatasi lagi.
Kekerasan dalam perang
Menurut
catatan, granat telah digunakan dalam
pertempuran sejak Perang Dunia I namun hanya ada sedikit insiden fragging yang dilaporkan selama dua
Perang Dunia atau Perang Korea.
Para
peneliti berspekulasi bahwa ini sebagian karena sifat perang itu sendiri.
Selama Perang Vietnam, Angkatan Darat AS menerapkan kebijakan rotasi satu tahun
untuk tentara dan rotasi enam bulan untuk perwira, yang berarti para pria tidak
dapat membentuk ikatan emosional yang cukup untuk percaya satu sama lain—juga
untuk memperkuat unit dengan rasa tujuan dan kesatuan.
Peningkatan
penggunaan narkoba dan kehadiran tentara yang kecanduan narkoba dalam jumlah
yang tidak proporsional juga berkontribusi pada peningkatan aksi fragging. Memang, selama persidangannya,
Prajurit Smith secara terbuka mengakui bahwa dia mabuk selama serangan yang
menewaskan Dellwo dan Harlan—meskipun dia sempat menyangkal bahwa bukan dia lah
pelakunya,
Roy
Moore, mantan Ketua Hakim Alabama yang juga bertugas di Polisi Militer ke-88 di
Vietnam pada tahun 1971, menggambarkan bagaimana banyak “penggunaan narkoba meluas” sehingga dia harus “mengatur banyak tindakan disipliner yang harus diberikan terhadap
tentara yang tidak patuh.”
Alih-alih
dapat memulihkan ketertiban seperti yang diharapkan Moore, tindakannya malah
membuatnya menjadi "orang yang ditandai" dan dia mulai menerima
banyak ancaman pembunuhan.
Kapten
Moore, setelah menolak untuk diintimidasi oleh ancaman dan terus memberikan
tuntutan disiplin, hampir menemui ajalnya di tangan "seorang pengguna narkoba yang dikenal dengan nama Kidwell"
yang menembak seorang sersan pertama dan sedang dalam perjalanan untuk membunuh
Moore—sebelum dia ditangkap.
Ditambah
lagi, suara penolakan masyarakat AS kepada Angkatan darat atas perang Vietnam,
menjadikan posisi militer yang menetap di Vienam menjadi semakin lemah. Bagi
tentara yang bertugas di lapangan, tekanan-tekanan ini menjadikan mereka semakin
tidak mau mematuhi perintah untuk bertempur dan mempertaruhkan nyawa mereka
dalam perang yang mereka tahu akan segera berakhir.
Pada
tahun 1971, Kolonel Robert D. Heinl menyatakan bahwa “Tentara kita yang sekarang tinggal di Vietnam
berada dalam keadaan mendekati kehancuran, dengan unit individu menghindari
atau menolak pertempuran, membunuh perwira mereka, kecanduan obat, dan ingin
sekali melakukan pemberontakan. ”
Atas
hal itu, banyak petugas mulai merasa tidak aman hanya karena posisi mereka yang
berpangkat tinggi. Colin Powell, yang menjabat sebagai mayor di Vietnam,
mengenang bahwa selama perjalanan keduanya dari tahun 1968 hingga 1969, “Aku berpindah tidur
setiap malam, sebagian untuk menggagalkan informan Viet Cong yang mungkin
melacakku, sedangkan sebagian lain adalah untuk menghindari kemungkinan aku
akan digranat oleh anak buahku sendiri.”
Statistik Dulu dan Sekarang
Selama
seluruh Perang Vietnam, teracatat ada 800 upaya fragging yang terdokumentasi di
Angkatan Darat dan Korps Marinir. Dengan perkiraan lain-lain, lebih dari 1.000
insiden seperti itu diperkirakan telah terjadi. Antara 1969 dan 1970 saja,
Angkatan Darat AS melaporkan 305 insiden fragging.
Namun,
jumlah sebenarnya dari insiden fragging mungkin tidak pernah diketahui. Hal ini
sebagian karena serangan itu sendiri membuat sulit untuk menentukan mana yang
disengaja dan mana yang tidak disengaja.
Dalam
upaya untuk menyelamatkan keluarga korban dari rasa sakit lebih lanjut,
Angkatan Darat terkadang mengganti penyebab kematian dari fragging dengan penyebab kematian yang lain.
Amerika
Serikat secara resmi mengakhiri keterlibatannya di Vietnam pada tahun 1973,
bersama dengan wajib militernya. Berakhirnya perang juga menandai berakhirnya
epidemi fragging yang berkepanjangan.
Banyak
pria militer profesional percaya bahwa tentara yang seluruhnya terdiri dari “sukarelawan”,
memiliki kecenderungan moral, dukungan, dan disiplin yang lebih tinggi daripada
mereka yang masuk karena “wajib militer”
Hari
ini, dikombinasikan dengan proses penyaringan tentara yang lebih ketat, membuat
Angkatan Darat AS berhasil menyaring keluar para pecandu narkoba dan
sejenisnya. Lebih dari itu, program terapi psikologis tentara juga secara ajaib
mengurangi jumlah insiden fragging.
Baca Juga :
- Ramree Massacre, Perang Tentara Jepang Melawan Pasukan Buaya
- Amerika Serikat dan “Operation Wandering Soul” di perang Vietnam
- Hari Terakhir Franceska Mann, Si Ballerina Pembunuh Nazi
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih
Ga heran militer AS dgn segala kemajuannya malah kalah dari Vietnam yg masih tradisional.
ReplyDeleteselain strategi, rupanya tentara AS juga kalah dari segi mental. Secara, di tanah amerika sendiri, banyak yang gak setuju soal "invasi" ke Vietnam (karena alasannya gak jelas)
Delete