Pada tahun 1914, sudah terlambat bagi Ernest Shackleton untuk menjadi orang pertama yang mencapai Kutub Selatan; Roald Amundsen telah mendapatkan kehormatan itu tiga tahun sebelumnya.
Meskipun begitu, Shackleton
masih dapat meraih ambisi lain untuk membuat namanya selamanya terikat pada
hamparan es Kutub Selatan.
Itulah kenapa di tahun itu,
ia berangkat ke Antartika dengan tujuan baru: Yaitu menjadi orang pertama yang melintasi benua
Antartika dan melakukannya sepenuhnya dengan berjalan kaki.
Sedikit yang dia tau, bahwa
kapalnya Endurance, tidak akan pernah
mencapai benua beku. Ekspedisi Shackleton akan sepenuhnya gagal. Namun, ia akan
dikenang dengan cara lain tatkala dia dan anak buahnya akan bertahan di atas es
selama 497 hari, dan mengubah ekspedisi Endurance
menjadi salah satu kisah survival yang paling berkesan dalam sejarah.
Ekspedisi Kutub Selatan Pertama Ernest
Shackleton
Ernest Shackleton lahir di
Kilkea, Irlandia pada tahun 1874. Ketika keluarganya pindah ke London,
Shackleton yang berusia 16 tahun mulai berkarir di kapal dagang dan
menghancurkan harapan ayahnya yang ingin dia mengikuti jejaknya sebagai dokter.
Didorong oleh keinginan
untuk menjelajah, Shackleton bergabung dengan ekspedisi Antartika pada tahun
1901 yang dipimpin oleh Robert Scott. Shackleton dan Scott melakukan pelayaran
dan mencoba menerjang suhu di bawah nol untuk mendekati Kutub Selatan, tetapi
gagal.
Beberapa tahun kemudian,
pada tahun 1907, Shackleton memimpin ekspedisinya sendiri ke Kutub Selatan di
Nimrod. Untuk membantu perjalanan mereka, para penjelajah membawa sekantong
obat peningkat performa, yang didalamnya termasuk pil “Forced March”, campuran kokain/kafein
untuk diminum saat stamina tinggi dibutuhkan.
Meskipun ekspedisi itu
sedikit lebih dekat ke benua es daripada upaya sebelumnya, Shackleton memutuskan
untuk berbalik ketika dia hanya berjarak 97 mil dari lepas pantai kutub. Dia tau bahwa didetik itu
juga, dia bisa mengambil rekor sebagai pelayar pertama yang mencapai kutub, tetapi
dengan persediaan yang semakin menipis, dia juga tahu perjalanan pulangnya akan
berarti kematian bagi anak buahnya.
Meskipun gagal mencapai
tujuannya, Shackleton dianugerahi pangkat ksatria oleh Raja Edward VII atas
usahanya. Dia tercatat tidak akan melakukan perjalanan ke kutub sampai 6 tahun
kemudian.
Diantara Petualangan dan Es
Pada hari Sabtu, 1 Agustus
1914, Jerman menyatakan perang terhadap Rusia, dan dalam waktu empat minggu,
pertempuran pertama Perang Dunia I akan dimulai.
Ini akan menjadi hari Sabtu
yang sama ketika Ernest Shackleton memulai perjalanannya untuk kembali menuju benua
Antartika, meninggalkan London dan dunia yang lebih luas di belakang—ia tidak
tau kala itu, bahwa dia berlayar lurus ke sebuah bencana.
Shackleton menamai kapalnya Endurance, meminjam dari motto
keluarganya: "Dengan ketekunan kita
mampu menaklukkan."
Di atas kapal berbobot 300
ton itu, yang membawa layar dan mesin uap, ada awak pilihan Shackleton yang
terdiri dari 26 pria, 69 anjing Husky, dan seekor kucing jantan bernama Chippy.
Pada akhir Oktober, seorang
penumpang gelap asal Wales, Perce Blackborow, (20 tahun) yang terdampar di
lepas pantai Uruguay, naik ke Endurance.
Setelah menemukan penumpang
gelap tiga hari kemudian, Shackleton melontarkan omelan yang eksplosif. Kepada
Blackborow, Shackleton berkata, "Apakah
kau tahu dalam ekspedisi ini kita sering merasa sangat lapar, dan jika ada
penumpang gelap yang tersedia, dialah yang pertama kali dimakan?"
“Mereka
akan mendapatkan lebih banyak daging dari Anda, Pak,”
balas Blackborow.
Sambil menahan senyum,
Ernest Shackleton memerintahkan si penyusup untuk menemui juru masak kapal dan
tak lama kemudian, dia diangkat sebagai pramusaji kapal.
Pada November 1914, Endurance mencapai Georgia Selatan,
sebuah pulau perburuan paus yang menjadi pelabuhan terakhir sebelum Antartika.
Para pemburu paus memperingatkan Shackleton tentang kondisi berbahaya di Laut
Weddell. Lapisan es yang luar biasa tebal membentang bermil-mil, dan itu adalah
lapisan paling besar yang pernah mereka lihat. Sayangnya Shackelton tidak
peduli dan akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya
Pada tanggal 5 Desember,
Endurance berangkat. Dua hari kemudian, kapal menabrak es. Selama enam minggu,
kru Shackleton mengemudikan kapal di antara gumpalan es yang membentang
dilautan Antartika.
Sembilan Bulan Terjebak Dalam Es
Awak Endurance tidak
mengetahuinya kala itu, tetapi mereka hanya beberapa hari lagi dari bencana.
Pada 18 Januari, kapal itu berlayar ke lapisan es yang padat. Ernest Shackleton
dan Worsley memutuskan untuk tidak menggunakan mesin uap mereka dan lebih
memilih untuk menunggu es pecah di depan kapal agar dapat lewat.
Sayang, alih-alih pecah,
yang terjadi malah pembekuan cepat dan pemadatan es di depan mereka. Selama
satu malam, gumpalan es sepenuhnya menyegel dan menjebak kapal mereka di
tengah-tengah.
Oke, itu adalah kabar buruk.
Pasalnya, Mereka hanya berjarak satu hari perjalanan dari titik pendaratan
mereka di Kutub. Namun, karena sebuah kejadian yang tidak terduga, mereka pada
akhirnya tidak bisa melanjutkan perjalanan
Selama sembilan bulan
berikutnya, Endurance hanyut bersama gumpalan es yang terapung, tidak bisa
lepas dari jebakannya.
Frank Hurley, fotografer
ekspedisi, bahkan menulis, “Betapa
suramnya kehidupan kami yang terjebak, kecuali bagi anjing-anjing.”
Sementara kucing tetap
menetap di atas kapal, anjing-anjing pindah ke "kandang es" atau "dogloo"
yang dibangun di sebelah kapal. Para awak mencoba memanfaatkan waktu mereka
sebaik mungkin, Mereka melatih kereta luncur anjing mereka, bermain sepak bola
di atas es, dan menjelajahi lapisan es beku yang mengelilingi mereka.
Meninggalkan Endurance
Bulan demi bulan berlalu, es
perlahan menghancurkan kapal. Pada tanggal 27 Oktober, hampir setahun sejak
mereka terakhir melihat peradaban, para pria itu terpaksa meninggalkan
Endurance.
Meninggalkan Endurance di
belakang, para kru mendirikan kemah di atas es, yang dijuluki "Perkemahan Laut." Ernest
Shackleton memastikan para pelaut menerima kantong tidur terhangat, sementara
dia dan para perwira mengambil kantong tidur yang lebih tipis. Mereka tidur di
atas es di tenda-tenda linen—sangat tipis sehingga para pelaut bisa menatap bulan
melalui kain tenda.
Tiga hari kemudian, ketika para
kru itu bersiap untuk melakukan perjalanan melintasi perairan demi mencapai
daratan, Shackleton memutuskan mengurangi beban perjalanan dengan meninggalkan
hal-hal yang tidak perlu. Sebagai demonstrasi kepada anak buahnya, dia
meninggalkan arloji emasnya dan sebuah Alkitab yang diberikan kepadanya oleh
Permaisuri Inggris.
Salah satu anak buahnya,
Thomas McLeod, seorang Katolik yang taat, lebih memilih membawa kitab suci dan
menyimpannya secara rahasia, berpikir bahwa meninggalkannya mungkin akan
membawa sial.
September sebelumnya, kucing
mereka Chippy telah menemui ajalnya.
Kucing itu jatuh ke perairan sedingin es selama 10 menit penuh sebelum kru
dapat menyelamatkan hewan peliharaan itu.
Chippy
sebenarnya
adalah milik Henry McNish, tukang kayu kapal, yang pada usia 40 tahun adalah
anggota tertua dari kru, duda dua kali, dan sosialis seumur hidup yang membenci
kata-kata kotor.
Beberapa hari setelah kematian
kucingnya, McNish berusaha melakukan pemberontakan kecil melawan Shackleton,
mengklaim bahwa karena kapal sudah terdampar, segala macam peringkat di kapal
tidak berlaku dan McNish tidak perlu mengikuti perintah Shackelton.
Memegang pistol, Shackleton
mengancam akan menembak McNish. Tukang kayu itu mengalah tetapi Shackleton
kemudian menulis dalam buku hariannya:
“Semua orang bekerja dengan baik kecuali si tukang kayu. Aku tidak akan pernah
melupakan perbuatan bodohnya di saat tegang dan krisis seperti ini.”
Selama mereka bertahan hidup
di Endurance, mereka menggunakan
segenap usaha yang mereka bisa untuk makan. Persediaan makanan mereka, sudah
habis hanya dalam 4 minggu pasca mereka terdampar.
Dengan persediaan makanan
mereka habis, mereka mulai berburu penguin dan anjing laut. Pernah disuatu
ketika, tatkala diserang oleh anjing
laut, Frank Wild, salah satu perwira Endurance
menembak hewan itu dan menemukan segudang ikan yang belum tercerna di perutnya,
memungkinkan pesta lezat yang dibagikan oleh seluruh kru.
Pada akhir Maret, lebih dari
setahun setelah terperangkap di atas es, para lelaki itu terpaksa membunuh dan
memakan semua anjing mereka. Lebih buruk lagi, es di bawah perkemahan mereka
telah menipis karena pergantian musim; dan gumpalan itu dapat retak setiap
saat.
Pada tanggal 9 April 1916,
kru, masih berjumlah 28 orang termasuk Shackleton, naik ke tiga sekoci yang
mereka ambil dari Endurance. Mereka
meninggalkan es, berlayar menuju sebidang kecil tanah tandus yang disebut Pulau
Gajah. Setelah tujuh hari di laut, para kru akhirnya mencapai daratan untuk pertama
kalinya dalam 16 bulan.
Perjalanan 800 Mil
Tidak ada yang tahu bahwa
Ernest Shackleton dan krunya terjebak di Pulau Gajah. Menghadapi kemungkinan
kematian, Shackleton memutuskan untuk kembali naik ke sekoci dan melanjutkan
pelayaran ke Georgia Selatan
Selama perjalanan 800 Mil,
Shackelton dan Krunya menghadapi badai salju, badai laut, dan rintangan yang
tak terbayangkan.
Sebenarnya, tidak semua Kru
ikut ke pelayaran itu, tiga sekoci yang mereka gunakan untuk mencapai pulau
Gajah, semuanya ada di dalam kondisi yang tidak baik.
Untuk melakukan perjalanan
ke Georgia Selatan, McNish sebenarnya mampu memperbaiki Sekoci dan
memperkuatnya dengan cara mendempulnya dengan campuran tepung, cat minyak dan
darah anjing laut. Namun karena bahan-bahan itu hanya mampu untuk memperkuat
satu sekoci saja, 2 diantaranya harus ditinggalkan.
Dan yap, seperti yang dikira,
karena hanya ada satu sekoci yang mampu digunakan, beberapa kru pada akhirnya
harus ditinggal dipulau gajah.
Rencananya adalah,
satu-satunya Sekoci yang mampu digunakan, akan ditumpangi oleh 6 awak kru (termasuk
kapten Shackelton) ke Georgia selatan. Sementara kru yang lain ditinggal dan
mencoba bertahan hidup di pulau Gajah, Shackelton dan kelima orang lain akan
mencari bantuan tatkala sampai di daratan agar dapat menyelamatkan kru yang
tertinggal.
Frank Wild adalah salah satu
perwira yang ikut ditinggalkan. “Kami
memberi mereka tiga sorakan hangat & menyaksikan sekoci semakin kecil &
semakin kecil di kejauhan. Kemudian saat Kapten dan Sekoci kecil itu hilang di
cakrawala, aku melihat beberapa kru menangis. Aku langsung memerintahkan mereka
untuk bekerja (dalam upaya bertahan hidup sebelum bantuan datang)”
Dalam perjalanan sekoci
kapten Shackelton, kru kecil itu Berlayar tanpa henti selama dua setengah
minggu. Para penumpang menderita luka berdarah dan bisul air asin; mereka semua
membeku pada derajat yang berbeda dan terus menerus basah.
Salah satu kru, Frank
Worsley mencoba memetakan arah menggunakan sextant dan belum merlihat landmark sama sekali.
Jika perjalanan sekoci itu meleset
dari Georgia Selatan, 6 orang itu akan mati dan mereka kemungkinan juga akan
mengecewakan para kru di pulau Gajah yang sangat mengharapkan datangnya
pertolongan
Saat mereka mengira hal
tidak bisa berubah menjadi lebih buruk, Pada tanggal 5 Mei, segala hal
mengindikasikan sebaliknya.
Itu adalah gelombang raksasa.
Kapten Shackelton, tatkala menulis di buku memoar
miliknya, bahkan mengatakan “Selama dua
puluh enam tahun pengalaman lautan dalam segala suasananya, Aku belum pernah
menemukan ombak yang begitu besar dan tinggi.”
Gelombang raksasa itu menghantam
sekoci secara bertubi-tubi. Menyeretnya kesana kemari ibarat sebuah permainan lempar
tangkap. Selama berjam-jam, 6 kru itu mencoba bertahan di dalam sebuah badai.
Itu adalah pengalaman yang
menyiksa, namun somehow sekoci mereka
masih mengapung tatkala gelombang itu sudah berlarut pergi.
Entah keajaiban apa yang
menyertai mereka karena Pada 10 Mei 1916, sekoci itu berhasil mencapai daratan.
Dan seperti yang diperkirakan, itu adalah daratan Georgia Selatan—Dijuluki
keajaiban navigasi, perjalanan sejauh 800 mil ini disebut sebagai perjalanan sekoci
terpanjang yang pernah dicapai.
Misi Penyelamatan
Sayang cerita Ernest
Shackleton belum berakhir. Sekoci telah mendarat di pantai barat tak berpenghuni
Pulau Georgia Selatan, dan untuk mencapai stasiun penangkapan ikan paus di sisi
timur pulau, akan membutuhkan upaya mendaki pulau dengan berjalan kaki.
“Tahap
akhir perjalanan masih harus dilakukan,” tulis Shackleton. “Di Pulau Gajah, masih ada kru yang menunggu
untuk diselamatkan. Jika dibandingkan, Nasib mereka lebih buruk dari kita saat
itu. Kita harus berhasil apapun keadaannya.”
Shackleton, Worsley, dan
pria lain, Tom Crean, bersiap untuk meninggalkan tiga pria lainnya dan mendaki
lebih dari 20 mil tanah belum dipetakan yang penuh dengan pegunungan dan
gletser.
Setelah berjalan selama 36
jam tanpa henti, ketiga pria itu (compang-camping, kuyu, dan berlumuran keringat)
akhirnya mencapai komunitas perburuan paus pada 20 Mei 1916. Sesampainya
disana, mereka menceritakan apa yang dialaminya kepada manajer dan mulai
membuat haru beberapa orang yang mendengarkan.
Shackleton kemudian harus
mencari kapal untuk kembali ke Pulau Gajah. Namun es sekali lagi membuatnya
tidak mungkin untuk melakukan pelayaran. Selama berbulan-bulan, Shackleton
melakukan beberapa upaya penyelamatan, yang semuanya gagal.
Shackleton khawatir, "Jika sesuatu terjadi padaku sementara
orang-orang itu menungguku, aku akan merasa seperti seorang pembunuh."
Akhirnya, pada upaya
keempatnya, Shackleton mencapai Pulau Gajah. Saat itu 30 Agustus 1916—empat
bulan telah berlalu sejak dia pergi.
Ketika tim penyelamat
melihat Pulau Gajah, Shackleton mengeluarkan teropongnya, menghitung
orang-orang di pantai. "Mereka semua
ada di sana!" tereiaknya sebelum dia menangis.
The Sad Side Story
Ernest Shackleton dan krunya
kembali ke London pada Oktober 1916, lebih dari dua tahun semenjak kepergian
mereka. Seluruh anggota “manusia” dari kru
Endurance, dinyatakan selamat.
Sayangnya, perjalanan laut
mereka itu, nampaknya tetap membawa kematian kepada yang lain. Kapal layar
bernama Aurora dilaporkan juga telah
berlayar pada bulan Agustus 1914.
Itu, adalah kapal yang
ditugaskan untuk menyediakan makanan dan pasokan bahan bakar untuk perjalanan
yang hendak dilakukan Shackleton melintasi benua Antartika (dengan kata lain, Aurora adalah kapal pemasok persediaan
untuk Endurance kala itu)
Anggota awak Aurora, dikabarkan
meninggalkan kapal mereka, dan berjalan sejauh 1.561 mil melintasi daratan es
Antartika.
Mereka sempat meninggalkan
persediaan untuk Shackleton dan anak buahnya, di tempat yang seharusnya
merupakan titik temu 2 tahun yang lalu.
Menyelesaikan misi dalam
mengirim persediaan, Kru Aurora
melintasi daratan es Antartika sembari menerjang badai salju. Terkadang, mereka
harus bertahan di suhu yang mencapai -92 derajat Fahrenheit.
Seiring berjalannya waktu,
persediaan makanan kru Aurora sendiri
mulai menipis. Dalam keputusasaan, para anjing kru diketahui mulai mati karena
stress dan kelaparan.
Kapal Aurora sendiri terhempas ke laut oleh badai dan terperangkap dalam
es dari Mei 1915 hingga Maret 1916, membuat tim yang terdiri dari 10 orang itu
terdampar.
Tatkala bangkai kapal Aurora
ditemukan, 3 mayat dikabarkan ada di dalam kapal. Salah satu mayat itu, adalah
milik Aeneas Mackintosh, sang kapten kapal yang dulu pernah ikut berlayar
dengan Shackelton pada sebuah ekspedisi di tahun 1907.
Berbanding terbalik dengan Endurance, seluruh kru Aurora, tidak ada yang selamat.
Hmm..
Baca
Juga :
- Kisah Aron Ralston dan Tragedi yang mendasari film “127 Hours”
- Survival Of Ada Blackjack, Perempuan yang ditinggal sendiri di Arktik
- Kisah Beck Weathers yang Selamat dari Badai Gunung Everest
- Hugh Glass dan kisah nyata yang menginspirasi Film “The Revenant”
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih
Respect buat semua orang didalam cerita. Penghuni endurance karena kuat banget dan penumpang Aurora yg udah menunaikan tugas mereka walaupun harus gugur.
ReplyDeleteSalah satu kisah survival terbaik memang.
damn...hampir nangis gue...jika dibuat film, bisakah sutradaranya mem visualisasi kan se epic ini. baru berbentuk teks/tulisan aja udah epic banget...berharap di film kan...please nolan, spielberg...
ReplyDelete