Setelah menjadi satu-satunya yang selamat dari kecelakaan pesawat di Peru, Juliane Koepcke menghabiskan 11 hari di hutan mencoba mencari jalan kembali ke peradaban.
Kisah Juliane Koepcke
Juliane Koepcke tidak tahu
apa yang menantinya saat menaiki Penerbangan
LANSA 508 tahun 1971. Kala itu, gadis berusia 17 tahun itu hendak bepergian
dengan ibunya dari Lima, Peru ke kota timur Pucallpa untuk mengunjungi ayahnya,
yang bekerja di Hutan Hujan Amazon.
Sedikit info tentang gadis
itu, Juliane Koepcke lahir di Lima pada 10 Oktober 1954. Kedua orang tuanya
adalah ahli zoologi Jerman yang pindah ke Peru untuk mempelajari satwa liar.
Dia telah menerima ijazah SMP-nya sehari sebelum penerbangan dan berencana
untuk belajar zoologi seperti orang tuanya.
Pada
malam natal 1971, Juliane Koepcke dan
Ibunya mengambil penerbangan ke Pucallpa agar mereka bisa merayakan natal
bersama seluruh anggota keluarga dikeesokan harinya. Penerbangan itu, adalah
penerbangan LANSA 508.
Penerbangan LANSA 508, adalah penerbangan selama
satu jam. Duduk di kursi 19F, itu adalah perjalanan yang mulus bagi Koepcke dan
Ibunya pada awalnya. Itu, sampai awan tiba-tiba menjadi lebih gelap dan
turbulensi semakin buruk.
Tiba-tiba, tanpa disadari
pesawat sudah terjebak di tengah badai besar. Pada titik ini, pesawat berada
dalam pusaran awan hitam pekat, dan kilatan petir berkilauan dapat dilihat
melalui jendela. Saat petir menyambar motor pesawat, sudah bisa dipastikan apa
yang akan terjadi; pesawat itu mulai pecah berkeping-keping.
Detik beriktnya, hanyalah
kilasan mengerikan saja yang bisa didengar oleh Koepcke. Suara jeritan dan
suara nyaring mesin pesawat yang rusak saling bertaut-tautan seiring badan
pesawat yang mulai terjun bebas ke tanah.
Masih terikat di kursinya,
Koepcke baru menyadari bahwa dia jatuh bebas selama beberapa saat sebelum dia
kehilangan kesadaran. Yap, dia jatuh dari ketinggian 10.000 kaki ke tengah
hutan hujan Peru.
Kisah Juliane Koepcke Berlanjut
Kisah Juliane Koepcke akan
sangat singkat apabila dia meninggal dalam kecelakaan itu. Namun sayang, dia
entah bagaimana masih hidup.
Ketika dia bangun keesokan
paginya ditengah hutan belantara Peru, gegar otak bersamaan dengan syok hanya
memungkinkan dia untuk memproses fakta-fakta dasar saja. Somehow, dia selamat dari kecelakaan pesawat.
Meskipun begitu, kondisinya
tidak sepenuhnya baik. Salah satu matanya benar-benar tidak berfungsi dan
pandangannya menipis. Karena kemuingkinan masih shock, dia kembali pingsan setelahnya. Butuh setidaknya setengah hari bagi Koepcke untuk benar-benar bangun
sepenuhnya.
Tatkala sadar, dia mulai
mengerti apa yang terjadi. Dalam kondisi seperti ini, mau tidak mau, dia harus
bertahan hidup dan mencari jalannya sendiri ke peradaban.
Bergerak dengan sisa-sisa
tenaga yang dia punya, dia berjalan gontai meninggalkan posisinya. Sesekali,
dia berteriak untuk memanggil dan mencari keberadaan sang ibu.
Dia merasa agak putus asa
pada saat ini, tetapi kemudian dia ingat beberapa nasihat survival yang diberikan oleh ayahnya: jika kau melihat air, ikutilah arusnya ke hilir. Di situlah biasanya
akan ada pemukiman.
Setelah menemukan sumber air
yang dimaksud, maka di mulailah perjalanannya menyusuri sungai. terkadang dia
berjalan, terkadang dia berenang. Pada hari keempat perjalanannya, dia
menemukan tiga penumpang pesawat yang masih terikat di kursi mereka. Mereka
semua sudah mati.
Salah satunya adalah seorang
wanita. Koepcke sempat menyodok wanita itu dengan batang kayu dan berpikir itu
mungkin ibunya, tetapi untungnya bukan. Kala menggeledah tiga penumpang itu, Koepcke
menemukan sekantong permen. Itu akan menjadi satu-satunya sumber makanannya selama
sisa hari-harinya di hutan.
Sekitar waktu inilah Koepcke
mendengar dan melihat pesawat penyelamat dan helikopter di atas, namun usahanya
untuk menarik perhatian mereka tidak berhasil.
Sementara Koepcke mencoba
bertahan hidup, Kecelakaan pesawat LANSA
508 mendorong pencarian terbesar dalam sejarah Peru, tetapi karena
kepadatan hutan, tim SAR kesulitan untuk dapat melihat puing-puing dari kecelakaan
itu. Tentu saja dengan logika itu, melihat
puing-puing aja susah, apalagi melihat Juliane Koepcke diantara hutan lebat.
Sekian kali Koepcke dilewati
pesawat penyelamat, sekian kali pula dia berteriak-teriak. Setelah serangkaian
percobaannya untuk menarik perhatian tidak berhasil, dia tahu bahwa dia
benar-benar sendirian untuk mencari bantuan.
Hingga pada akhirnya...
Pada hari kesembilan di
hutan, Koepcke menemukan sebuah gubuk dan memutuskan untuk beristirahat di
dalamnya, di mana dia ingat berpikir dia mungkin akan mati sendirian di hutan.
Kemudian dia mulai mendengar suara-suara. Dan bukan suara imajiner. Itu adalah
suara milik tiga misionaris Peru yang tinggal di gubuk itu.
“Pria
pertama yang aku lihat tampak seperti malaikat,”
kata Koepcke.
Sayang, Para pria itu tidak
merasakan hal yang sama. Mereka sedikit takut padanya, dan pada awalnya mengira
Koepcke adalah roh air yang sering disebut penduduk lokal sebagai Yemanjábut.
Itulah kenapa, mereka
membiarkan Koepcke tinggal di sana selama satu malam lagi dan hari berikutnya
mereka baru membawanya dengan perahu ke rumah sakit setempat yang terletak di
kota kecil terdekat.
Setelah dia dirawat karena
luka-lukanya, Koepcke bertemu kembali dengan ayahnya. Dia juga membantu pihak
berwenang menemukan pesawat dan selama beberapa hari, mereka dapat menemukan
dan mengidentifikasi para mayat.
Sayang, sang ibu yang dia
cari-cari pada akhirnya meninggal tatkala ditemukan. Dari 91 penumpang, Juliane
Koepcke adalah satu-satunya yang selamat.
Kehidupan Koepcke pasca tragedi
Karena dia diinterogasi oleh
angkatan udara dan polisi, selain menjadi sorotan media, duka dan kesedihan
tidak dicatat sampai nanti. Semua yang dia alami, luka-lukanya serta kehilangan
ibunya membuat Koepcke mengembangkan ketakutan yang mendalam untuk terbang dan
selama bertahun-tahun mengalami mimpi buruk yang berulang. Meskipun begitu, dia
mencoba tetap menjalani hidup dan kembali ikut bagian dalam masyarakat.
Dia akhirnya melanjutkan
studi biologi di Universitas Kiel di Jerman pada tahun 1980 dan kemudian
menerima gelar doktornya. Dia kembali ke Peru untuk melakukan penelitian di
bidang mamalia. Juliane Koepcke menikah dan menjadi Juliane Diller.
Pada tahun 1998, ia kembali
ke lokasi kecelakaan untuk ambil bagian dalam film dokumenter Wings of Hope yang mendokumentasikan
tentang kisahnya yang luar biasa. Dalam penerbangannya bersama sutradara Werner
Herzog, dia sekali lagi duduk di kursi 19F. Koepcke menemukan pengalaman itu
sebagai terapi.
Ini adalah pertama kalinya
dia bisa fokus pada insiden dan menelaah setiap ketakutannya. Dia, mengaku
bahwa dia pada akhirnya mendapatkan “bab penutup” atas segala trauma dari
tragedi yang menimpanya. Pengalaman itu, juga mendorongnya untuk menulis memoar
tentang kisah hidupnya yang luar biasa berjudul When I Fell From the Sky.
Meski trauma peristiwa itu
berhasil diatasi, dia mengaku akan selalu ada satu pertanyaan yang akan
mengganjal dibenaknya sampai dia mati. Pertanyaan itu adalah : dari semua orang, mengapa hanya dia yang
selamat?
Baca
Juga :
- Kisah Pramugari yang selamat dari Jatuh 33.330 kaki
- Dibalik foto Keith Sapsford yang Jatuh dari Pesawat
- Kecelakaan Pesawat Andes dan Survival selama 72 hari dengan Kanibalisme
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih
Kalau mau post think ya sederhana. "Karena dia yg terpilih dan ada yg harus dia lakukan"
ReplyDeletewah kayak moto nya orang indigo itu.
DeleteWoow keren
ReplyDelete