Pada 11 Mei 1996, Beck Weathers meninggal di Gunung Everest. Setidaknya, itulah yang semua orang yakin telah terjadi. Sayangnya, di dalam pertarungan antara manusia melawan gunung tertinggi di dunia itu, sang gunung harus menelan kekalahan.
Selama 18 jam, tidak peduli
seberapa keras Everest mencoba ‘mengkonsumsi’ Beck Weathers, orang itu tetap
tidak mau mati.
Penakhlukan Gunung Everest Beck Weathers
Pada musim semi tahun 1996,
Beck Weathers, seorang ahli patologi dari Texas, bergabung dengan kelompok pendaki
ambisius (yang terdiri dari 8 orang) dan berharap bisa mencapai puncak Gunung
Everest.
Weathers dikenal sebagai
orang yang “gila pendakian” selama bertahun-tahun, dan pada tahun itu, dia
memang sedang dalam misi untuk mencapai "Seven
Summits"—sebuah petualangan pendakian gunung yang melibatkan puncak
gunung tertinggi di setiap benua.
Meskipun dia terhitung
sebagai Pro, dia mengatakan bahwa
pendakian Everest kemungkinan akan menjadi yang paling menantang diantara semua.
Terlepas dari rumah
tangganya yang sedang dalam masa sulit, Weathers lebih memperdulikan pendakian
(Weathers Tidak tau kala itu, kalau sang istri memang berniat menceraikannya
setelah pulang dari pendakian Everest).
Mengabaikan segala macam
urusan pribadi dan terfokus kepada satu tujuan saja, rombongan itu tiba di kaki
Gunung Everest pada Mei 1996
Pendakian ini dipimpin oleh
pendaki gunung veteran Rob Hall. Hall adalah pendaki berpengalaman yang berasal
dari Selandia Baru. Dia memiliki rekor pendakian Everest sebanyak 5 kali, dan
sudah menyelesaikan Seven Summits
sebelumnya.
Itulah kenapa, para anggota
kru mengandalkan Rob Hall dalam menilai cuaca. Jika dia bilang kalau cuaca
aman, maka mereka tidak akan ragu untuk melanjutkan pendakian.
Kala itu, Rob Hal menilai
cuaca cukup kondusif dan pendakian bisa dilakukan.
Keberangkatan Pendakian Everest
Delapan pendaki berangkat
secara serentak. Cuaca kala itu cerah dan tim nampak bersemangat. Pendakian
awal sedikit dingin, namun 12-14 jam menuju puncak, tergambar sebagai cuaca
yang sepoi-sepoi saja—Rob Hall tidak
tau kala itu, bahwa pendakian akan berubah menjadi mimpi buruk dalam hitungan
detik.
Sesaat sebelum berangkat ke
Nepal, Beck Weathers telah menjalani operasi rutin untuk menyembuhkan rabun
jauhnya. Keratotomi radial, telah
secara efektif membuat sayatan kecil di korneanya untuk mengubah bentuk agar
penglihatannya lebih baik—operasi ini
adalah metode lama sebelum LASIK (Intinya operasi mata bro)
Sayangnya, faktor ketinggian
nampaknya membuat kornea matanya yang masih dalam pemulihan bengkok. Hal ini,
membuat Beck pada dasarnya buta sepenuhnya tatkala keadaan gelap (malam menjelang)
Ketika Hall mengetahui bahwa
Weathers tidak bisa lagi melihat, dia melarangnya melanjutkan pendakian. Hall
memerintahkannya untuk tetap berada disisi jalan sementara dia membawa yang
lain naik ke puncak—mereka akan menjemputnya dalam perjalanan pulang.
Weathers sebenarnya sempat
protes. Namun penjelasan logis dari Hall pada akhirnya membuat Weathers setuju
(dengan berat hati)
Saat tujuh rekan satu timnya
mendaki ke puncak, dia tetap berada di tempatnya. Beberapa kelompok lain
melewatinya saat turun, menawarinya tempat di karavan mereka, tapi dia menolak,
menunggu Hall seperti yang dia janjikan.
Sayangnya, Hall tidak akan
pernah kembali.
Rob Hall benar-benar membawa
6 orang yang dia tuntun ke puncak. Setelah mencapai puncak, seorang anggota tim
menjadi terlalu lemah untuk melakukan perjalanan kembali—dia bersikeras untuk
tetap tinggal diatas dan menyuruh anggota tim lain meninggalkannya.
Karena tidak tega, Hall pun
menyuruh 5 orang lain untuk turun duluan, sementara dia, akan menunggu orang
tersebut sampai dia memiliki cukup tenaga untuk turun bersamanya—sayangnya,
Hall dan orang itu terlambat menyadari badai yang datang. Mereka terjebak di
badai dan pada akhirnya dinyatakan tidak pernah kembali dari puncak Everest.
Badai Hebat Yang Menerjang
Hampir 10 jam berlalu
sebelum Beck Weathers menyadari ada yang tidak beres, tetapi sebagai seorang yang
kesulitan melihat, dia tidak punya pilihan selain menunggu sampai seseorang
berjalan melewatinya lagi.
Tak lama setelah jam 5 sore,
seorang pendaki turun, memberi tahu Weathers bahwa Hall memilih tertinggal di
belakang. Meski tahu bahwa dia bisa turun saat itu juga, Weathers lebih memilih
untuk menunggu anggota timnya sendiri yang telah diinfokan sedang otw turun.
Mike Groom, seorang yang
ditunjuk Rob Hall untuk menggantikannya memandu rombongan turun, tiba tak lama
setelah itu membawa kembali 4 orang dari puncak. Dia kemudian menjemput
Weathers dan melanjutkan perjalanan turun.
Turun dengan anggota
rombongan 6 orang, badai yang sangat parah membuat Mike Groom mengkomandokan
anggotanya untuk bergegas. Dia memandu dengan sangat hati-hati (namun cepat)
untuk memastikan rombonganya berhasil turun ke tempat perkemahan.
Melewati Badai itu
digambarkan ibarat “Berjalan Di dalam botol susu” sejauh mata memandang yang bisa
dilihat hanyalah salju berwarna putih buram ke segala arah.
Mereka berjalan berdempetan,
mencoba menghemat hawa panas dari tubuh mereka dan mencoba untuk tidak terpisah
dari satu sama lain. Kala itu, Weathers yang kehilangan sarung tangannya mulai tidak
mampu menggerakkan tangannya dengan sempurna.
Dia yang melihat jari-jarinya
membeku dan menghitam, langsung berteriak dan kaget. Terlalu sibuk meratapi
jarinya yang sepenuhnya sudah mati rasa, membuat Weathers tidak memperhatikan
rombongannya.
Dalam sekejap, sebuah
terpaan angin menghempaskannya jatuh ke semacam jeglongan (jeglongan bahasa indonesianya apa woy).
Mike Groom sempat melakukan
cek kepada rombongannya, saat dia tau bahwa Weathers menghilang, dia bakan
tidak ragu-ragu untuk meninggalkannya—melakukan pencarian dikala badai seperti
ini terlalu beresiko dan kemungkinan besar malah dapat membahayakan yang lain.
Dia pun, memutuskan untuk
mempercepat kecepatan turun dan berniat meminta bantuan saat sudah sampai
dibawah.
Beck Weathers Left For Dead
Pada malam hari, sebelum
sampai ke bawah, Rombongan Mike Groom berpapasan dengan seorang pemandu asal
Russia yang sedang melakukan pencarian atas mereka. Mereka kemudian dituntun
melewati rute yang aman untuk kembali ke perkemahan.
Namun nampaknya, karena
cuaca Everest yang sedang mengamuk, segala macam pencarian untuk Weathers pada
akhirnya dihentikan pasca rombongan Mike Groom sudah sampai ke tenda—mereka
lebih memilih untuk menunggu badai usai apabila ingin melakukan penyelamatan.
Keesokan paginya, setelah
badai berlalu, Mayat Weather, Rob Hall dan Yasuko Namba (orang yang ditunggu
Rob Hall) pun dicari. Kondisi mereka bertiga relatif sama—mati beku. Meskipun
begitu, Weathers diketahui masih bernafas.
Hal ini, membuat kaget
seorang dokter yang menanganinya. Tanpa menunggu lama, sang dokter asal Kanada
yang menanganinya langsung melakukan prosedur penyelamatan secepat yang dia
bisa. Terlepas dari tubuhnya yang semakin dekat dengan kematian menit ke menit,
Weathers pada akhirnya mampu diselamatkan.
Dengan keajaiban, Weathers
terbangun dari koma hipotermianya sekitar pukul 4 sore.
Dokter sempat mengucapkan
ucapan terima kasih kepada tim penyelamat yang membantu menyelamatkan Weathers
dari atas gunung. Jika dia ditinggalkan, sudah dipastikan dia akan mati begitu
saja.
Sayangnya, pengakuan tim
penyelamat malah membuat terkejut sang dokter. Rupanya, Beck Weathers tidak
ditemukan di atas gunung. Mereka menyelamatkan Weathers dengan posisi sekian
meter dari tempat tenda perkemahan.
Tim penyelamat bilang,
Weathers diketahui bergerak dari posisinya dan merangkak menuju kamp perkemahan.
Beck Weathers dan Keinginan Untuk Hidup
Rupanya, pasca jatuh dan
ditinggalkan oleh rombongannya, dia tidak menyerah akan hidupnya.
Bayangan-bayangan tentang tempat tidurnya yang hangat terus menghantuinya
tatkala dia terbaring di dinginnya salju.
Lalu, di detik-detik putus
asa itu, dia merasakan gelombang adrenalin yang mengaliri tubuhnya. Terlepas
dari lengan kanannya yang mati rasa, dia mengumpulkan sisa-sisa tenaganya untuk
bergerak.
Dia tidak tau arah dan
memiliki kondisi buruk akan penglihatannya. Dia pada akhirnya mengikuti
instingnya dan turun dengan cara merangkak seperti ular.
“Ini
nyata dan bukan mimpi. Aku berada di gunung tetapi aku tidak tahu di mana. Jika
aku tidak bangun dan bergerak, aku akan mulai menyerah dan berhenti memilirkan
apapun. Jika hal itu terjadi, mungkin tamatlah sudah.”
Kenangnya.
Entah bagaimana caranya, dia
mengumpulkan tenaganya dan berhasil menuruni gunung dengan bertumpu pada paha
yang terasa seperti porselen dan hampir tidak merasakan apapun.
Kedatangannya dengan
merangkak tentu saja mengejutkan seluruh penghuni area perkemahan. Saat dia
melihat orang-orang disana, dia menggunakan sisa-sisa tenaganya untuk berteriak
meminta tolong. Meskipun wajahnya menghitam karena radang dingin dan beberapa
anggota tubuhnya mati sepenuhnya, dia nampaknya masih mampu bergerak dan
berbicara.
Beck Weathers Kembali dari Kematian
Pasca dilaporkan hilang,
sang istri sebenarnya sempat dikabari bahwa suaminya itu telah tewas. Namun
nyatanya, dia kembali dan masih hidup.
Dalam beberapa jam pasca
dirawat oleh dokter lokal, pengurus kamp telah memberi tahu Kathmandu (daerah
di nepal) dan mengirim Beck Weathers ke rumah sakit dengan helikopter.
Lengan kanannya, jari-jari
di tangan kirinya, dan beberapa bagian kakinya harus diamputasi, begitu juga
dengan hidungnya (beberapa bagian seperti hidung masih dapat diperbaiki dengan
dibuatkan hidung yang baru)
Pasca kejadian itu, Beck
Weathers sudah kembali ke sisi Istrinya dan memutuskan untuk berhenti mendaki gunung.
Istrinya itu, tidak jadi menceraikannya dan memutuskan untuk menjaganya dan
memperbaiki pernikahan mereka dengan menjalani hidup bersama.
Meskipun gagal menuntaskan Seven Summit, Weathers pada akhirnya
menuliskan pengalamannya itu ke dalam sebuah buku yang berjudul Left for Dead: My Journey Home from Everest.
Terlepas dari dia yang
kembal dengan kondisi fisik ’yang tidak utuh’, dia mengaku bahwa secara
spiritual, dia sudah mengalami kedamaian yang luar biasa.
End
Of Story
Baca
Juga :
- Misteri Menghilangnya Para Pendaki di Dyatlov Pass
- Menguak Keberadaan Yeti si Monster Gunung Salju
- Kasus Menghilangnya Lars Mittank dan CCTV terakhir
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih
Pantesan kaya Deja vu baca ini. Ada satu nama yg "TING" bikin gue inget ini pernah dibahas di tempat lain : Yasuko Namba.
ReplyDeleteTapi POV nya beda. Kalo yg di MBP, itu lebih menyoroti soal persaingan 2 kelompok Pendaki yg berujung bencana karena mengakibatkan kematian anggota anggotanya (Beck Weathere disebut sebut sebagai korban selamat tapi ga mendetil selain beberapa anggota tubuhnya harus diamputasi. Kalo disini kan lumayan mendetil).
wado.. ada cerita kayak gitu kah? hmm. kayaknya admin harus cek di MPB. penasaran.
DeleteUdah baca. Dan yep Sebenarnya pembahasannya lebih luas di MBP.
DeleteKalau dipikir, parah juga sih banyak yang mati hanya dalam 1 event pendakian.
Adaa film nya kok bang, judulnya everest disitu pemeran utama nya si rob hall..
Delete