Jika Finlandia memiliki sosok Simo Häyhä, Rusia sebenarnya juga memiliki Penembak Jitu handal. Dia adalah Lyudmila Pavlichenko. Seorang wanita barbar yang dikenal sebagai sosok Nazi Hunter.
Meskipun Simo Häyhä dan Lyudmila
Pavlichenko tidak bernah bertemu di medan perang yang sama, mereka sebenarnya
memiliki kesamaan : yaitu sosok yang dianggap menyebalkan bagi lawan-lawannya.
Dalam kasus Lyudmila
Pavlichenko, lawan yang dimaksud adalah kaki tangan Adolf Hitler sendiri, yaitu
Pasukan Nazi.
Kisah Kepahlawanan Lyudmila Pavlichenko
Lyudmila Pavlichenko mengawali
karirnya sebagai penembak jitu dari sebuah sekolah menembak. Awalnya, dia dikompor-kompori tetangga laki-lakinya
yang sombong atas prestasinya di sekolah menembak.
Tentu saja karena harga
diri, Lyudmila Pavlichenko mendaftarkan diri ke sekolah menembak tersebut dan
memulai karirnya sebagai penembak—yang kala itu tentu saja aneh karena penembak
perempuan, sangat jarang (bahkan hampir tidak ada)
Kecintaannya kepada senjata,
pada akhirnya memberikan motivasi untuk
menjadi tentara. Tentu saja kala itu, lowongan tentara yang tersedia untuk
wanita hanyalah perawat dan asisten medis di rumah sakit.
Namun Lyudmila Pavlichenko
tidak mau menjadi perawat—dia dengan mantap jiwa, ingin menjadi tentara yang
berperang di medan pertempuran.
Segera, seorang perwira yang
ada di meja pendaftaran langsung mentertawakannya. Menganggap bahwa gadis yang
ada di depannya itu sedang mengatakan omong kosong. Namun Lyudmila Pavlichenko
100 persen serius—dia mengaku bahwa dia bisa menggunakan senjata.
Tidak ada yang bisa
mengantisipasi hari itu tatkala gadis yang bersangkutan, benar-benar
mendemonstrasikan kemampuannya di depan para tentara Soviet.
Dia pun pada akhirnya diberi
kesempatan untuk ikut berperang.
Sejak saat itu, Pavlichenko
terjun ke medan perang, dan terus membuktikan dirinya sebagai penembak jitu
yang hebat dan berbakat—Pada hari pertamanya aktif bertugas, dia berhasil
membunuh dua tentara Jerman yang sedang patroli.
Selama beberapa bulan
berikutnya, dia akan terus berkonstribusi kepada kubu Soviet dalam perang
mereka melawan Nazi. Selama pertempuran di Odessa, dia mencatat 187 pembunuhan
yang dikonfirmasi. Kemudian selama pertempuran Sevastopol, jumlah korbannya
menjadi 257.
Selain metode sniping
standar, Lyudmila Pavlichenko juga mengambil tugas yang lebih berisiko,
termasuk yang paling berbahaya: counter-sniping.
Ketika counter-sniping,
tentara pada dasarnya terlibat dalam duel Sniper vs Sniper. Itu adalah duel
pengejaran dan pencarian jejak sampai salah satu dari mereka berhasil
mengalahkan yang lain.
Sepanjang karirnya,
Pavlichenko tidak pernah kalah dalam duel, meski terlibat dalam duel yang berlangsung
beberapa hari dan malam—duel counter-sniping
terlama yang pernah dia lakukan, adalah 3 hari (dan dia menang)
Penghargaan kepada Lyudmila Pavlichenko
Dia sempat dipromosikan
menjadi Senior Sergent, sebelum
akhirnya menjadi Letnan. Pada akhir Perang Dunia II, dia telah membunuh 309
tentara musuh, 36 di antaranya adalah penembak jitu.
Sebelum kalah perang, Pihak
Nazi bahkan sempat melayangkan ancaman terbuka bahwa mereka akan menemukan dan
membunuh Lyudmila Pavlichenko lalu memutilasinya menjadi 309 bagian—Jumlah
korban yang dia bunuh.
Lyudmila Pavlichenko hanya
tertawa dan malah tersanjung bahwa musuh mengetahui jumlah korban yang terkena
bidikannya
Sepanjang karirnya sebagai
penembak jitu, dia sempat terluka beberapa kali. Meskipun 3 luka pertamanya
tidak membahayakan nyawa, luka keempatnya adalah alasan yang membuatnya pensiun—dia
kemudian dibebaskan dari tugas aktif sebelum ditempatkan sebagai instruktur
penembak jitu tentara muda.
Karir gemilang Lyudmila
Pavlichenko, juga membuka mata para senior militer soviet untuk membuka lebih
banyak lowongan kepada pada penembak jitu perempuan muda yang berbakat.
Pasca Perang
Setelah perang, dia
menghadiri tur ke negara-negara Sekutu. Ketika dia tiba di Washington D.C., dia
menjadi warga negara Soviet pertama yang disambut di Gedung Putih. Saat berada
di sana, dia menjalin persahabatan dengan Ibu Negara Eleanor Roosevelt.
Keduanya terikat pada
pandangan mereka yang sama tentang hak-hak perempuan dan Nyonya Roosevelt
bahkan menemaninya dalam tur keliling Amerika.
Elanor Roosevelt membantu Lyudmila
Pavlichenko dalam hal-hal nasehat hidup, mengajarinya untuk mengesampingkan
pertanyaan tentang penampilannya dan fokus pada pekerjaannya.
Keduanya akan mempertahankan
persahabatan yang erat selama bertahun-tahun, dan ketika Nyonya Roosevelt
berkeliling Moskow 15 tahun kemudian, keduanya akan bersatu kembali.
Setelah perang, Lyudmila
Pavlichenko kemudian juga melanjutkan untuk menyelesaikan gelarnya di
Universitas Kiev, mendapatkan gelar Master dalam ilmu sejarah.
- Kisah Simo Hayha, Sniper Legendaris yang dijuluki “White Death”
- Charles Jenkins, dan Kisah Pembelotan Sial Ke Korea Utara
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih
Gile. Harusnya dia bikin autobiografi sih (Atau malah udah?)
ReplyDelete