Pada tahun 1965, Amerika Serikat berada di tengah-tengah Perang Vietnam. Beberapa Prajurit yang ditempatkan di Zona Demiliterisasi atau Demilitarized Zone (DMZ) antara Korea Utara dan Selatan, entah kenapa mulai takut akan dikirim ke Vietnam.
Empat
tentara yang berada di DMZ, memutuskan bahwa daripada menghadapi kondisi yang
berpotensi mengancam jiwa di Vietnam, mereka akan menyeberangi DMZ, dan
membelot ke Korea Utara.
Mereka
kala itu tidak tau, bahwa tertembak di Vietnam, akan 100 kali lebih baik
daripada pergi ke Korea Utara.
Pembelotan tentara AS ke Korut
Menurut
salah satu tentara, Charles Jenkins, rencana awalnya adalah menyerahkan diri
kepada Korea Utara dan kemudian mencari perlindungan di kedutaan Rusia. Di
sana, mereka berharap, mereka akan dideportasi ke uni soviet, dan akhirnya bisa
kembali ke Amerika Serikat dalam program pertukaran tahanan.
Itulah
kenapa, pada suatu malam di bulan Januari, ketika Jenkins baru berusia 24
tahun, dia dan ketiga temannya memutuskan untuk menghentikan kegiatan minum bir
mereka dan mulai berjalan melintasi DMZ.
Mereka
kemudian mengangkat tangan dihadapan tentara Korut, dan meminta mereka untuk menyerahkan
mereka ke kedutaan besar Rusia.
Sayangnya,
Rusia menolak penyerahan diri mereka. Pihak Rusia malah menyerahkan mereka
sepenuhnya ke pihak Korea Utara.
Alhasil,
mereka pada akhirnya ditahan oleh pihak Korea Utara sebagai tawanan. Mereka
dipaksa hidup dalam kurungan, di ruang sempit tanpa air mengalir, selama tujuh
tahun sebelum akhirnya dilepaskan.
Yang
dimaksud ‘dilepaskan’ adalah dipindah ke komplek rumah yang dijaga ketat. Mereka
diizinkan beraktifitas keluar rumah, namun mereka akan diawasi.
Meskipun
mereka tidak lagi dipaksa untuk hidup di karantina, mereka dipaksa untuk
menghabiskan hari-hari mereka mempelajari filosofi Juche dari pemimpin Kim Il-sung saat itu. Mereka juga
dipaksa untuk menghafal sebagian besar ajaran Kim dalam bahasa Korea dan sering
dipukuli oleh penjaga jika mereka tidak mematuhinya.
Karir Jenkins di Korea Utara
Akhirnya,
orang-orang itu pun berpisah. Jenkins dikirim ke Universitas Studi Asing
Pyongyang untuk mengajar bahasa Inggris—Di sana, ia bertemu seorang perempuan
bernama Hitomi Soga, seorang mahasiswa keperawatan Jepang berusia 21 tahun,
yang telah diculik dari Jepang beberapa tahun sebelumnya.
Hitomi
Soga telah diculik dan dibawa ke Korea Utara. Dia kemudian dijadikan ‘pengajar’
untuk mengajari mata-mata Korea Utara dalam berbahasa dan berbudaya Jepang.
Hanya
38 hari setelah pertemuan, Soga kemudian ‘diberikan’ kepada Charles Jenkins
sebagai hadiah, dan keduanya pun menikah. Meskipun pernikahan mereka adalah ‘perjodohan’,
pasangan itu akhirnya jatuh cinta dan memiliki dua putri.
Pada
tahun 1982, Jenkins dipaksa tampil dalam film propaganda Korea Utara berjudul
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Untuk pertama kalinya sejak menghilang, dunia Barat,
dan keluarga Jenkins mendapat bukti bahwa dia masih hidup.
Jenkins
mengklaim bahwa, meskipun dia diperlakukan secara adil selama berada di Korea
Utara, dia kadang-kadang menjadi sasaran kengerian karena statusnya sebagai ‘tawanan
perang’ Korea Utara.
Dia
mengklaim bahwa dia sering dipukuli, dan dijadikan kelinci percobaan dalam
prosedur medis yang tidak perlu—hal itu termasuk pememotongan tato Angkatan
Darat miliknya tanpa obat bius.
Kebebasan Jenkins
Akhirnya,
pada tahun 2002, Charles Jenkins mendapat secercah harapan. Setelah Kim Jong-il
mengkonfirmasi kepada pers bahwa Korea Utara, pada kenyataannya, telah menculik
warga Jepang, pemerintah Jepang bersikeras agar para tawanan itu dikembalikan.
Soga
pun dijemput kembali ke Jepang. Awalnya, dia mengajukan permohonan agar anak
dan suaminya juga bisa ikut pulang ke jepang, tetapi Jenkins dan putrinya
terpaksa tetap tinggal di Korea Utara karena hal itu tidak diperbolehkan.
Akhirnya,
pada tahun 2004, keluarga itu bersatu kembali ketika pemerintah Korea Utara pada
akhirnya melepaskan Jenkins dan putrinya pergi.
Jepang
akhirnya mengajukan pengampunan resmi untuk AS atas nama Jenkins yang sayangnya ditolak. Namun karena kerinduannya yang sangat mendalam kepada tanah air, dia
pun nekat kembali ke Amerika Serikat dengan segala macam konsekwensinya.
Jenkins
pulang ke Amerika Serikat pada 11 September 2004, untuk perayaan Hari Patriot,
sebelum kemudian ditangkap oleh Militer Amerika Serikat
Dia
diadili oleh AS, dan setelah mengaku bersalah atas tuduhan membelot dan
membantu musuh, dia pun dijatuhi hukuman penjara 30 hari dan dipecat secara
tidak hormat (30 hari terhitung sedikit, namun nampaknya Jenkins sudah belajar
dari kesalahannya pasca dikurung selama Puluhan Tahun di Korea Utara)
Setelah
melunasi hutangnya kepada Negara, ia memutuskan kembali bersama keluarganya di
kampung halaman istrinya, di Pulau Sado di Jepang.
Charles
Jenkins meninggal sebagai penduduk tetap Jepang, pada 11 Desember 2017, setelah
menerbitkan dua buku tentang pengalamannya sebagai tawanan perang Korea Utara.
End Of Story
Baca Juga :
- Kisah Simo Hayha, Sniper Legendaris Yang Dijuluki “White Death”
- Korea Utara dan Kasus Peretasan Sony Pictures
- Saat Londin diterpa Banjir Miras pada 1814
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih
Pelajaran moral yg bisa diambil "Jangan gampang membelot". Rencananya kurang matang dan berakhir jadi tawanan.
ReplyDeleteBtw perang Vietnam itu harusnya salah satu Aib Mamarika yg dengan segala kecanggihan dan adidaya mereka ternyata malah keok. Kaya dulu pernah kalah juga lawan Taliban.
dari dulu mah, kualitas militer amerika memang diunggulkan dari segi tekhnologi saja. kalau personil perorangan, kayaknya dibandingkan tentara kita, mending tentara kita dah.
Delete