Masalah pembatasan kebebasan Pers, adalah sebuah masalah
kemanusiaan yang tidak pernah bisa diselesaikan tanpa ada konflik. Entah sudah
berapa banyak Jurnalis yang dihilangkan dan dibunuh gara-gara mereka mengkritik
pemerintah ataupun rezim yang berkuasa.
Kita sebagai negara yang pernah memiliki Rezim yang Otoriter
tentu tau bagaimana menakutkannya pemerintah apabila mereka tidak terima
dikritik. Sekali salah bicara, kau akan diculik dan dibunuh.
Namun nampaknya, hal tersebut tidak hanya terjadi di
Indonesia. Banyak sekali kasus di seluruh penjuru dunia yang sifatnya serupa. Bahkan, dikarenakan tulisan-tulisan itu
sangat sensitif menyinggung pemerintah, beberapa media di blokir dan tulisannya
dihapus. Dan apabila tulisan serupa ditulis, terkadang akan ada hukum pidana yang akan menyeret siapa
saja yang menulisnya.
Yah, secara tekhnis, artinya adalah Jika kau menulis kritik
pada pemerintah, kau akan dibunuh.
Namun taukah kamu? Ada sebuah perpustakaan yang berisi
tulisan-tulisan terlarang dari para Jurnalis dari seluruh penjuru dunia?
Tulisan yang di banned dari negaranya
namun masih bisa dilihat di sebuah perpustakaan Khusus dan rahasia.
Perpustakaan yang tidak diketahui pemerintah namun merupakan grand hall yang menyimpan berbagai macam
permasalahan tabu dari seluruh belahan bumi. Perpustakaan tersebut bernama The Uncensored Library, Terletak di
sebuah negeri tanpa bendera. Negeri dimana pembatasan Pers benar-benar tidak
berlaku.
Kasus pembungkaman Pers
Sebelum kuberitahu lebih jauh tentang The Uncensored Library,
mari kita singgung sebentar kasus-kasus pembungkaman kebebasan pers yang ada di
dunia.
Kasus Jurnalis Pengkritik Pangeran Arab Saudi.
Arab Saudi
memang tidak mengizinkan media independen. Terlepas dari kampanyenya yang
bertajuk reformasi, Mohammad bin Salman (Anak Raja Salman) telah melakukan
berbagai penindasan pers sejak pelantikannya sebagai putra mahkota (Pangeran)
pada Juni 2017.
Jumlah dari
Jurnalis Resmi dan Jurnalis Freelance
yang ditahan telah meningkat sebanyak tiga kali lipat sejak awal 2017. Sebagian
besar ditahan secara paksa dan kemudian disiksa. Hal itu disebabkan oleh
tulisan mereka sendiri.
Jurnalis yang
menyuarakan kritik atau menganalisis masalah politik dalam negeri dapat dipecat
atau ditahan di bawah ketentuan hukum pidana, hukum terorisme, atau kejahatan Cyber atas tuduhan penistaan agama
dengan klasifikasi : Menghina Agama, Menghasut Masyarakat, Membahayakan
persatuan nasional, Melukai persatuan nasional, atau Menjatuhkan citra atau
reputasi raja dan negara.
Setiap orang
dilarang membicarakan tentang politik, bahkan di jejaring sosial. Pihak
berwenang menjaga wartawan Saudi di bawah pengawasan ketat (bahkan ketika
mereka berada di luar negeri). Seperti Kasus yang dialami oleh Jamal Khasoggi.
(Jamal Khashoggi)
Jamal Khashoggi adalah
seorang jurnalis Arab Saudi. Dia adalah seorang manajer umum dan pemimpin
redaksi Al-Arab News Channel. Dia
juga menjabat sebagai editor untuk surat kabar Arab Saudi Al Watan. Khashoggi melarikan diri dari Arab Saudi pada September
2017 dan pergi ke Amerika Serikat setelah tulisannya tiba-tiba di cancel dan akun twitternya diblokir.
Di Amerika
Serikat ia bekerja sebagai Kolumnis (orang yang berkerja sebagai penulis tetap
koran atau majalah) untuk The Washington
Post. Khashoggi adalah seorang kritikus tajam terhadap beberapa kebijakan
pangeran mahkota Arab Saudi, Mohammad bin Salman dan mengecam serius penagkapan
para wartawan.
Pada tanggal 2
Oktober 2018, Khashoggi pergi ke konsulat Saudi di Istanbul Turki, demi mendapatkan
dokumen yang diperlukan untuk pernikahannya yang akan segera dilakukan. Dia dibunuh
di dalam kompleks konsulat setelah 15 orang membawanya dan menyiksanya. Konon
kabarnya, dia dihilangkan dengan cara dimutilasi dan jenazahnya dimasukkan ke
cairan asam sebelum cairan itu dibuang ke sungai.
Pembunuhan ini
awalnya disangkal oleh pemerintah Arab Saudi, namun pada akhirnya diakui. Muhammad
Bin Salman (Putra Mahkota/Pangeran) menerima tanggung jawab politik atas
kematian Khashoggi tetapi sampai hari ini dia menyangkal telah memerintahkan
pembunuhan tersebut.
Kasus Censorship di
Rusia
Sejak protes kepada rezim meluas pada Desember 2011,
pemerintah Rusia memperketat pengawasan kepada para jurnalis kritis. Pemerintah
kala itu, memperkenalkan kebijakan Blacklist
situs tanpa peringatan. Dahulu, pemblokiran situs hanya bisa dilakukan setelah
adanya pengadilan. Namun semenjak kebijakan baru itu diterapkan, semua tidak
lagi. Akibatnya, Setiap tahun lusinan orang dijatuhi hukuman pidana karena
aktivitas online mereka. Bahkan "Like" (Facebook) di postingan yang
salah dapat membuat seseorang dipenjara. (Anjirr)
Pada saat yang sama, negara telah mengembangkan tekhnologi
untuk mengawasi pergerakan massa yang sistematis, yang bertujuan mencegah
komunikasi anonim atau terenkripsi (Mungkin maksudnya, apabila kita akses
sesuatu pake VPN, masih bisa dilacak)
Pendataan seluruh warga negara Rusia diwajibkan secara hukum agar
dapat disimpan secara eksklusif di server arsip negara. Layanan jaringan bisnis
Amerika Serikat LinkedIn, batal
memindahkan servernya ke jaringan network Rusia karena pemerintah memutuskan
memblokir situsnya pada November 2016.
Upaya untuk melarang penggunaan Telegram kepada seluruh
masyarakat gagal secara spektakuler pada musim semi 2018. (Telegram merupakan
media chatting yang termasuk paling
aman karena fitur enkripsinya)
“Hukum internet kedaulatan” milik Rusia ini, membawa
penyensoran internet ke tingkat yang baru : pemerintah berusaha untuk
mendapatkan kendali atas infrastruktur web dan (jika perlu) dapat memutus
internet Rusia dari jaringan web di seluruh dunia.
(Yulia Berezovskaia)
Yulia
Berezovskaia adalah pemimpin
redaksi dari situs grani.ru, salah
satu dari banyak situs web yang diblokir oleh pemerintah Rusia. grani.ru adalah sumber berita populer yang
membahas kegiatan protes, persidangan bertajuk politik dan aktivisme masyarakat
sipil.
Situs
web tersebut sering melaporkan peristiwa selama konflik Ukraina pada bulan
Februari sampai Maret 2014, ada juga laporan tentang protes "EuroMaidan" (Nama dari aksi
unjuk rasa dan kerusuhan) di Kiev, dan
berita-berita lain yang dianggap sebagai hal yang terlalu sensitif apabila disebarkan.
Pada
13 Maret 2014 grani.ru diblokir oleh
pemerintah Rusia. Itu adalah salah satu media internet pertama yang dilarang di
bawah aturan yang disebut undang-undang
Lugovoy. Undang-undang yang memungkinkan kantor jaksa agung dan Kominfo
untuk memblokir konten apa pun yang mereka anggap sebagai konten "ekstremis"
tanpa harus melewati persidangan kasus.
Teror Kepada Para Blogger Vietnam
Karena
sebagian besar Media mainstream Vietnam dikontrol oleh rezim pemerintahannya
yang Komunis, satu-satunya sumber informasi yang berdiri secara independen
tanpa campur tangan pemerintah adalah blogger dan Freelance.
Mereka
sering menjadi sasaran penganiayaan fisik dari polisi berpakaian preman. Untuk mencari
kesalahan mereka, rezim menjerat para Blogger dan Freelance yang menuliskan
kritik terhadap pemerintah dengan pasal 79 dan 88 KUHP Vietnam. di mana dalam
pasal tersebut disebutkan : "kegiatan
yang bertujuan menggulingkan pemerintah" dan "Propaganda
anti-negara" dapat dihukum dengan hukuman penjara yang sagat lama.
Hal
ini menyebabkan Tingkat teror terhadap para penulis independen meningkat tajam
dalam tiga tahun terakhir. Banyak Blogger dan Jurnalis lepas yang dipecat dan
dipenjara hanya karena tulisan mereka.
Ketika
warga Vietnam semakin gencar bermedia sosial, pihak berwenang sudah membentuk
tim penanganan kejahatan digital terhadap Negara. Pada bulan Desember 2017, militer
mengumumkan keberadaan Departemen Perang
Cyber Militer dengan jumlah personil 10.000 orang. yang bertugas membela
kedaulatan rezim dan mengincar para blogger
pembangkang. (Uhh.. Terima kasih
bapak Jokowi karena tidak membentuk departemen Cyber berpersonil 10.000 orang
untuk menciduk para blogger Indonesia =.=).
Di
bawah undang-undang kejahatan dunia maya yang baru (yang mulai berlaku pada
tahun 2019). Platform online asing diharuskan untuk menyimpan data pengguna
Vietnam mereka di server di Vietnam dan menyerahkannya kepada pihak berwenang
ketika diperlukan.
Vietnam
mencoba segalanya untuk menjaga kebenaran dari jangkauan masyarakat. Sistem
pembatasan dan propaganda pemerintah seakan membuat labirin yang sesulit
mungkin bagi warganya agar mereka tidak dapat menemukan Informasi yang paling
benar.
(Nguyen Van Dai)
Nguyen Van Dai adalah seorang pengacara HAM di Vietnam. Dia juga merupakan seorang aktivis demokrasi dan blogger.
Pada
tahun 2006 ia mendirikan Komite Hak Asasi Manusia di Vietnam, untuk memperjuangkan
pemberdayaan masyarakat awan melalui cara hukum. Saat bekerja dengan Komite Hak
Asasi Manusia, Dai melakukan perjalanan mengajari mahasiswa hukum dan pembela
HAM tentang mekanisme pelaporan hak asasi manusia.
Dia
ditangkap pada Maret 2007 dan dijatuhi hukuman empat tahun penjara dan empat
tahun lagi dalam tahanan rumah. Pada Mei 2013 Dai kemudian mendirikan
"Persaudaraan untuk Demokrasi" dan menyelenggarakan serangkaian forum
hak asasi manusia.
Dia
ditangkap lagi pada 16 Desember 2015 dan didakwa karena "melakukan
propaganda melawan negara." Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier
menghadiahkan Dai pada tanggal 5 April 2017 dengan penghargaan Hak Asasi
Manusia 2017 dari Asosiasi Hakim Jerman ketika dia masih di penjara. Pada April
2018 Dai dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dengan tambahan 5 tahun tahanan
rumah tetapi kemudian dibebaskan dan diasingkan ke Jerman.
Sampai
sekarang, Dai masih aktif menulis topik-topik yang berkaitan dengan kebebasan
pers di Vietnam.
Tulisan
Berharga Nyawa para Jurnalis Mexico
Meskipun
tidak dalam masa perang, Meksiko adalah salah satu negara paling mematikan di
dunia bagi jurnalis dan bahkan melampaui Suriah. Kong-Kalikong antara pejabat dan organisasi kejahatan terorganisir
menimbulkan ancaman besar terhadap keselamatan jurnalis dan melumpuhkan sistem
peradilan di semua tingkatan.
Jurnalis
yang meliput kisah-kisah politik sensitif atau kejahatan terorganisir
diperingatkan, diancam, dan sering ditembak mati begitu saja. Yang lainnya diculik
dan tidak pernah terlihat lagi.
Tahun-tahun
setelah 2006, ketika Presiden Felipe Calderón menyatakan "perang melawan
narkoba," rekor pembunuhan dan penghilangan wartawan meningkat.
Menimbulkan berbagai macam kepanikan dan rasa teror untuk para jurnalis. Beberapa melarikan diri ke luar negeri sebagai
satu-satunya cara untuk memastikan kelangsungan hidup mereka, sementara yang
lain memilih untuk diam karena sadar akan konsekwensi yang bisa terjadi.
Andrés
Manuel López Obrador, yang dilantik sebagai presiden pada Desember 2018, telah
berjanji untuk menjadikan perang melawan korupsi sebagai prioritas nomor satu.
Tetapi harapan awal bahwa Meksiko akhirnya bisa membebaskan diri dari spiral
kekerasan belum terpenuhi.
Pembunuhan
dua jurnalis terkemuka Meksiko pada tahun 2017 masih belum terpecahkan hingga
saat ini:
Miroslava Breach adalah seorang jurnalis yang dikenal karena laporannya
tentang pelanggaran hak asasi manusia, perdagangan narkoba dan korupsi
pemerintah. Dia terbunuh pada 23 Maret 2017 setelah dia menghubungkan seorang
kandidat walikota ke Sinaloa Cartel (salah satu gembong narkoba), menyebabkan
kandidat walikota itu kalah dalam pemilihan. Miroslava Breach Berusia 54, dan
merupakan ibu tunggal dari dua anak.
Javier Valdez adalah seorang jurnalis dan pendiri dari surat kabar
mingguan Riodoce, yang didedikasikan
untuk meliput kejahatan dan korupsi di Sinaloa, salah satu provinsi paling
kejam di Meksiko. Dia juga penulis beberapa buku tentang perdagangan narkoba.
Valdez terbunuh pada 23 Mei 2017. Dia berusia 50 tahun.
(Javier Valdez)
Jumlah
pekerja media yang terbunuh di Meksiko terus menjadi yang tertinggi di dunia.
Pada tahun 2019 saja, 10 wartawan Meksiko terbunuh karena pekerjaan mereka. Rafael
Murúa Manríquez
- Jesús Eugenio Ramos Rodríguez
- Santiago Barroso
- Telésforo Santiago Enríquez
- Francisco Romero Díaz
- Norma Sarabia Garduza
- Omar Iván Camacho Mascareño
- Rogelio Barragán Pérez
- Jorge Celestino Ruiz Vázquez
- Nevith Condés Jaramillo
Penjara seumur Hidup Di Mesir
Mesir
merupakan penjara jurnalis terbesar di dunia. Disini, Beberapa jurnalis yang
ditahan menghabiskan bertahun-tahun dibalik jeruji tanpa dituntut atau diadili.
Sisanya, telah dijatuhi hukuman penjara yang lama atau bahkan penjara seumur
hidup dalam persidangan massal yang sistemnya tidak bisa disebut benar.
Pihak
berwenang telah melakukan perburuan sejak 2013 terhadap jurnalis yang dicurigai
mendukung Muslim radikal dan telah mengendalikan pemecatan/pemberhentian di
media. Yang mana sekarang sistemnya dikendalikan secara langsung atau tidak
langsung oleh negara, badan intelijen atau perusahaan yang dekat dengan
pemerintah.
Internet
adalah satu-satunya tempat yang tersisa di mana informasi yang dilaporkan
secara independen dapat bersirkulasi hingga taraf tertentu. Sayangnya lebih
dari 500 situs web sudah diblokir dan semakin banyak orang ditangkap karena
postingan jejaring sosial mereka.
Hukum
yang semakin kejam melegalkan banyak
penindasan. Misalnya, wartawan diwajibkan atas alasan keamanan nasional untuk
melaporkan hanya versi resmi serangan "teroris" (Versi resmi tentu
saja yang diinginkan pemerintah untuk dipublish, bukan yang sebenarnya).
Pengkritikan
juga tidak boleh dilakukan oleh media kepada pemerintah. Termasuk didalamnya
adalah bahasan perihal subjek ekonomi. Orang yang menulis tentang Inflasi dan
Korupsi, dapat dihukum penjara.
....
Sejak
tahun 2013 portal berita Mada Masr
telah melaporkan masalah korupsi dan keamanan dengan pembawaan berita yang
sangat kritis terhadap pemerintah. Mada Masr merupakan situs web berita
profesional terakhir yang melaporkan
secara independen (tanpa campur tangan pemerintah) dan merupakan salah satu
sumber terpenting jurnalisme berkualitas di Mesir.
Sayang,
Sejak Mei 2017 situs web tersebut telah diblokir di negara ini.
Kantor-kantornya digerebek dan pada bulan November 2019 beberapa anggota staf
ditahan secara singkat tanpa tuduhan hukum.
Mesir
adalah salah satu tempat paling berbahaya di dunia bagi jurnalis. Editor dari
Mada Masr mempertaruhkan banyak resiko untuk mempublish berita nya secara
Independen. Inilah kenapa mereka dianggap sangat berbahaya bagi pemerintah. Bahkan
orang-orang yang mengutip artikel-artikel yang diblokir dari Mada Masr bisa
sangat rentan untuk ditangkap.
THE SILVER LINING
Rentetan
cerita diatas adalah beberapa dari sekian pembungkaman yang terjadi di negara
yang memiliki Rezim yang tidak pro kebenaran. Bahkan di indonesia pun, kita diingatkan
oleh Kasus Jurnalis Fuad Muhammad Syarifudin pada masa orde baru.
Namun
Udin lebih beruntung, terlepas dari dia yang dibunuh, Rezim yang dia kritik
sudah benar-benar runtuh. Setidaknya, kita hanya bisa mendoakan Udin sudah
tenang mengetahui kebenarannya dari alam sana.
Orang-orang
diatas lain cerita, pasalnya rezim yang menarget mereka masih berkuasa. Segenap
peraturan yang tidak pro ‘kebebasan pers’ masih ada sampai sekarang. Terlepas
dari ada yang meninggal, dan tulisannya diblokir dan dihapus oleh pemerintahan
mereka sendiri, namun tulisan-tulisan mereka masih ada kok.
Tulisan
itu tersembunyi dan masih bisa dibaca oleh orang-orang dengan cara mendatangi
perpustakaan rahasia. Perpustakaan itu berdiri di negeri tanpa bendera, negeri
dimana pembatasan Pers tidak berlaku.
Tulisan
mereka ada di tempat bernama The Uncensored Library
Lanjut ke bagian ke dua :
Yth Pembaca,
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih
Mohon jangan copas sembarangan artikel di blog ini, buatnya susah gan. Mengutip boleh, namun mohon sertakan sumber backlink ke blog ini. Terima Kasih
0 Response to "Kasus Pembungkaman Pers dan Konflik Berdarah"
Post a Comment